1 Raja-Raja 19:2: Keberanian Elia Melawan Izebel

"Sebab Izebel menyuruh seorang suruhan kepada Elia mengatakan: "Beginilah kiranya para allah menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu, jika besok pada waktu seperti ini nyawa engkau tidak sama dengan nyawa salah seorang dari mereka itu.""

Ayat ini dari Kitab 1 Raja-Raja pasal 19, ayat 2, merupakan sebuah momen krusial dalam narasi kehidupan Nabi Elia. Setelah kemenangan gemilang yang disaksikannya di Gunung Karmel, di mana Allah menunjukkan kuasa-Nya secara dahsyat atas para nabi Baal, Elia seharusnya merasakan kegembiraan dan kedamaian. Namun, justru di saat seperti inilah, ancaman besar datang, menguji imannya hingga ke titik nadir.

Kisah sebelumnya menceritakan bagaimana Elia dengan berani menantang Raja Ahab dan seluruh umat Israel untuk memilih antara Allah yang benar dan dewa Baal. Ia meminta dua lembu jantan disiapkan, dan tanpa api dari langit untuk membakar korban persembahan, Allah yang menjawab dengan api, menghanguskan korban, kayu bakar, batu, bahkan debu dan air di parit. Setelah itu, atas perintah Elia, seluruh umat menangkap para nabi Baal dan menyembelih mereka di bawah pimpinannya. Ini adalah sebuah kemenangan ilahi yang spektakuler.

Namun, dampak dari tindakan ini ternyata memicu murka yang luar biasa dari pihak yang kalah, terutama Ratu Izebel. Izebel, yang dikenal sebagai pendukung kuat penyembahan berhala Baal dan putri raja Sidon, tidak bisa menerima penghinaan dan kekalahan ini. Ancaman yang ia kirimkan kepada Elia dalam ayat ini bukanlah sekadar gertakan, melainkan sebuah sumpah yang didasarkan pada kepercayaan agama yang ia anut. Ia bersumpah akan membalas dendam dengan membunuh Elia sebelum matahari terbit keesokan harinya. Ini menunjukkan betapa pribadi dan seriusnya ancaman tersebut.

Reaksi Elia terhadap ancaman kematian yang begitu terang-terangan ini patut menjadi renungan. Meskipun baru saja menjadi saksi dan instrumen dari kuasa Allah yang luar biasa, Elia tiba-tiba merasakan ketakutan yang mendalam. Ia takut akan ancaman Izebel. Ketakutan ini membuatnya melarikan diri demi menyelamatkan nyawanya. Ia pergi ke Bersyeba, sebuah kota di Yehuda, dan meninggalkan pelayannya di sana. Kemudian, ia berjalan sehari perjalanan ke dalam padang gurun, hingga akhirnya duduk di bawah pohon arar. Dalam keputusasaan, ia memohon kepada Allah agar mengambil nyawanya, karena ia merasa dirinya tidak lebih baik dari leluhurnya.

Kisah ini menunjukkan bahwa bahkan para hamba Tuhan yang paling setia pun bisa dilanda ketakutan dan keputusasaan. Kemenangan spiritual tidak selalu berarti kebebasan dari kesulitan atau ancaman fisik. Ini mengingatkan kita bahwa kebergantungan pada Allah haruslah terus-menerus, bahkan di saat-saat terendah sekalipun. Elia, yang tadinya begitu gagah berani menghadapi ratusan nabi Baal, kini bersembunyi dan putus asa. Namun, Allah tidak meninggalkan dia. Allah datang kepadanya, memberinya makan dan minum, serta menguatkannya untuk melanjutkan perjalanannya. Ini adalah gambaran tentang kasih karunia Allah yang tidak bergantung pada kekuatan atau keberanian manusia, melainkan pada kesetiaan-Nya.