Kitab 1 Tawarikh mencatat berbagai sensus dan daftar nama yang dilakukan oleh raja-raja Israel, terutama Daud dan Salomo. Tujuannya sering kali adalah untuk keperluan militer, organisasi kerajaan, atau pendataan kekayaan. Namun, ayat 23 dalam pasal 27 dari kitab ini menawarkan perspektif yang berbeda, sebuah jendela ke dalam cara pandang ilahi terhadap pertumbuhan dan masa depan umat-Nya. Ayat ini secara spesifik merujuk pada kebijakan Raja Hizkia yang tidak menyertakan kaum muda di bawah usia dua puluh tahun dalam sebuah sensus. Alasan di baliknya bukanlah kelalaian atau kurangnya administrasi, melainkan ketaatan pada firman Tuhan yang menjanjikan pertumbuhan berlipat ganda bagi Israel.
Tuhan sendiri telah menyatakan melalui firman-Nya bahwa Ia akan memperbanyak umat Israel. Perbandingan yang digunakan, "seperti bintang-bintang di langit," adalah metafora yang sangat kuat. Bintang-bintang di langit malam tak terhitung jumlahnya, tersebar luas, dan memancarkan cahaya. Ini melambangkan kelimpahan, kemakmuran, dan pengaruh yang besar. Ketika firman ini diberikan, Israel mungkin berada dalam kondisi yang terbatas, namun janji ini menanamkan harapan akan masa depan yang cerah dan berkembang pesat.
Keputusan Hizkia untuk tidak menghitung anak-anak muda dalam sensus tersebut mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang kekuasaan dan janji Tuhan. Daripada hanya berfokus pada angka-angka yang ada saat ini dan kekuatan yang terukur, Hizkia menaruh kepercayaannya pada potensi masa depan yang telah dijanjikan oleh Tuhan. Ini adalah sebuah strategi yang berbeda dari kalkulasi manusia biasa. Manusia cenderung menghitung apa yang terlihat, apa yang bisa diukur, dan apa yang sudah ada. Namun, Tuhan melihat melampaui apa yang terlihat. Ia melihat potensi, pertumbuhan, dan pemenuhan janji-Nya.
Dalam konteks sensus, menghitung kaum muda yang belum mencapai usia produktif mungkin tampak seperti tugas administratif yang tidak efisien. Namun, jika dilihat dari perspektif pertumbuhan populasi dan potensi masa depan Israel, mereka adalah aset yang paling berharga. Mereka adalah generasi penerus yang akan mewujudkan janji Tuhan. Hizkia, dengan kebijaksanaannya, seolah mengakui bahwa kekuatan sesungguhnya dari Israel tidak hanya terletak pada jumlah orang dewasa yang siap berperang atau bekerja, tetapi pada potensi tak terbatas dari setiap jiwa yang ditambahkan oleh Tuhan.
Ayat ini bukan sekadar catatan sejarah tentang Israel kuno, tetapi juga memberikan pelajaran berharga bagi umat percaya masa kini. Pertama, ini mengajarkan kita untuk mempercayai janji-janji Tuhan. Tuhan adalah setia dan Ia memiliki rencana yang jauh lebih besar daripada apa yang bisa kita pahami atau perhitungkan. Terkadang, dalam kesulitan atau situasi yang tampak stagnan, kita perlu diingat bahwa Tuhan sedang bekerja untuk memperbanyak dan mengembangkan kita.
Kedua, kita diajak untuk melihat nilai dalam generasi yang lebih muda. Seperti Hizkia yang tidak menghitung mereka dalam sensus, namun mengakui potensi mereka sebagai pemenuhan janji Tuhan, kita pun dipanggil untuk menginvestasikan waktu, kasih, dan bimbingan kepada anak-anak dan kaum muda. Mereka adalah harapan gereja dan masyarakat masa depan. Kesejahteraan mereka adalah kunci dari kelanjutan dan pertumbuhan iman yang dinamis.
Terakhir, ayat ini mendorong kita untuk mengubah perspektif dari sekadar menghitung pencapaian yang terlihat menjadi mengakui dan mengantisipasi berkat-berkat yang belum terwujud namun telah dijanjikan oleh Tuhan. Tuhan berjanji untuk memberikan anugerah, kekuatan, dan pertumbuhan yang melimpah. Mengakui janji-janji ini dan hidup di dalam pengharapan akan pemenuhannya adalah kunci untuk mengalami kekayaan rohani yang sejati, yang bahkan melampaui perhitungan duniawi.