2 Raja-raja 23:35 - Penggulingan Yoyakim dan Kebangkitan Korupsi

"Dan Firaun Nekho menobatkan Elyakim, anak Hilkia, abangnya, menggantikan ayahnya, lalu mengganti namanya menjadi Yoyakim. Tetapi Yoyakim mengambil peraknya dan emasnya; lalu ia membayar itu kepada Firaun Nekho, tetapi ia memungutnya dari kaum bangsawan dari negeri itu, yang ia membebani menurut penilaiannya akan peraknya dan emasnya, setiap orang menurut apa yang ia terbebani."

Takhta yang Bergolak Perubahan Kekuasaan di Yehuda

Ilustrasi: Takhta yang bergolak melambangkan pergantian kekuasaan.

Latar Belakang dan Peristiwa

Ayat 2 Raja-raja 23:35 menggambarkan sebuah momen krusial dalam sejarah Kerajaan Yehuda, yaitu penobatan Yoyakim sebagai raja. Peristiwa ini tidak terjadi secara alami atau melalui pewarisan tahta yang stabil, melainkan merupakan hasil intervensi asing. Firaun Nekho dari Mesir, setelah kemenangannya dalam pertempuran di Megido yang menewaskan raja Yosia, memutuskan untuk menempatkan seseorang yang ia percayai untuk memerintah Yehuda. Pilihan jatuh pada Elyakim, abangnya Yoyakim, yang kemudian diganti namanya menjadi Yoyakim.

Penggantian nama dari Elyakim menjadi Yoyakim memiliki makna simbolis. Nama "Elyakim" berarti "Allah akan mendirikan," sementara "Yoyakim" berarti "Allah akan mengangkat." Perubahan ini bisa diartikan sebagai upaya Firaun Nekho untuk memberikan legitimasi baru pada kekuasaannya atas Yehuda, dengan harapan Yoyakim akan setia dan tunduk padanya. Namun, apa yang terjadi selanjutnya menunjukkan bahwa tujuan Firaun mungkin lebih bersifat politis dan ekonomis.

Beban Pajak dan Korupsi

Bagian kedua dari ayat ini mengungkap sisi gelap dari penobatan Yoyakim. Firaun Nekho menuntut pembayaran berupa emas dan perak. Untuk memenuhi tuntutan ini, Yoyakim tidak mencari sumber daya dari kekayaan kerajaan yang sah, melainkan membebankan pajak yang berat kepada rakyatnya. Ayat tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa Yoyakim memungut perak dan emas dari kaum bangsawan, dan bahkan membebani mereka sesuai dengan penilaian kekayaan masing-masing.

Tindakan Yoyakim ini menunjukkan pola kepemimpinan yang koruptif dan eksploitatif. Alih-alih melindungi dan melayani rakyatnya, ia justru menggunakan kekuasaannya untuk memeras mereka demi memenuhi kewajibannya kepada penguasa asing. Ini adalah gambaran yang menyedihkan dari seorang raja yang seharusnya menjadi pelindung umatnya, namun malah menjadi alat penindasan. Hubungan antara Yoyakim dan Firaun Nekho menjadi sebuah simbiosis mutualisme yang merugikan rakyat Yehuda. Firaun mendapatkan upeti, sementara Yoyakim mendapatkan tahta dan kekuasaan, yang ia gunakan untuk memperkaya diri dan memenuhi kewajibannya.

Implikasi Teologis dan Sejarah

Peristiwa ini memiliki implikasi teologis yang mendalam. Bangsa Israel seringkali mengalami masa-masa sulit ketika mereka berpaling dari Tuhan dan mengandalkan kekuatan manusia atau bangsa lain. Penobatan Yoyakim oleh Firaun Nekho adalah bukti nyata dari ketergantungan politik yang akhirnya membawa penderitaan. Ayat ini juga menyoroti pentingnya keadilan dan kejujuran dalam pemerintahan. Seorang pemimpin yang korup akan membawa kehancuran bagi bangsanya.

Secara historis, pemerintahan Yoyakim adalah periode yang penuh gejolak dan ketidakstabilan bagi Yehuda. Peristiwa ini menandai awal dari masa-masa sulit yang puncaknya adalah pembuangan bangsa Yehuda ke Babel. Korupsi dan ketidaksetiaan pada perjanjian dengan Tuhan, serta pengkhianatan terhadap mandat kepemimpinan, menjadi faktor-faktor yang berkontribusi pada keruntuhan kerajaan. Ayat ini mengajarkan bahwa setiap tindakan kepemimpinan, terutama yang berkaitan dengan keadilan dan integritas, memiliki konsekuensi jangka panjang bagi seluruh masyarakat.