Ilustrasi: Pertemuan dan persekutuan yang menjadi awal tantangan.
Ayat 2 Samuel 10:16 mencatat sebuah momen penting dalam konflik antara Israel dan bangsa-bangsa tetangganya, khususnya orang Amon yang bersekutu dengan bangsa Aram. Ketika raja orang Amon menyadari bahwa pasukannya telah dipermalukan oleh kemenangan militer Israel, ia tidak berdiam diri. Sebaliknya, ia mengambil langkah drastis untuk mengumpulkan bala bantuan, merekrut tentara bayaran dan bersekutu dengan orang-orang Aram dari wilayah yang jauh, yaitu di seberang Sungai Efrat. Keputusan ini menandai eskalasi konflik dan menunjukkan betapa seriusnya ancaman yang dirasakan oleh raja Amon.
Kisah ini bukan sekadar laporan peperangan, tetapi mengandung pelajaran rohani yang mendalam bagi kita yang membacanya hari ini. Perhatikan bagaimana orang Amon, setelah mengalami kekalahan, tidak mencari jalan damai atau introspeksi diri. Sebaliknya, mereka justru mengandalkan kekuatan manusia. Mereka merekrut tentara tambahan dan mencari persekutuan dengan kekuatan militer lain. Ini adalah gambaran umum tentang bagaimana manusia sering kali bereaksi ketika menghadapi kesulitan atau kegagalan: mencari solusi dalam sumber daya duniawi, baik itu kekayaan, koneksi, atau kekuatan fisik.
Namun, Firman Tuhan mengajarkan perspektif yang berbeda. Kemenangan Israel dalam cerita ini bukanlah semata-mata karena kehebatan militer mereka, melainkan karena mereka mengandalkan TUHAN. Sepanjang sejarah Israel, kemenangan mereka sering kali dikaitkan dengan iman dan ketaatan mereka kepada Allah. Ketika mereka setia, Allah bertindak untuk membela dan memenangkan mereka.
Ayat 2 Samuel 10:16, meskipun menceritakan tentang strategi musuh, secara implisit mengingatkan kita pada kebenaran bahwa mengandalkan kekuatan sendiri atau sekutu duniawi adalah fondasi yang rapuh. Raja Amon dan sekutunya, meskipun tampak kuat dan memiliki sumber daya yang besar, pada akhirnya akan menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka yang didorong oleh kesombongan dan penolakan terhadap kedaulatan Allah. Kekuatan yang mereka kumpulkan dari berbagai penjuru dunia tidak dapat menandingi kuasa ilahi yang menyertai umat-Nya.
Sebagai umat Tuhan, kita dipanggil untuk meneladani apa yang seharusnya dilakukan dalam situasi serupa. Alih-alih bersandar pada pemahaman atau kekuatan kita sendiri, kita diundang untuk membawa setiap pertempuran, setiap kekalahan, dan setiap tantangan kepada TUHAN. Mazmur 121:1-2 mengingatkan kita, "Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku? Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi."
Kemenangan sejati, baik dalam skala besar seperti yang dialami Israel di masa lalu, maupun dalam perjuangan pribadi kita sehari-hari, bersumber dari kepercayaan yang teguh kepada TUHAN. Ini berarti mengakui keterbatasan diri, menyerahkan kendali, dan yakin bahwa Allah sanggup bertindak. Persekutuan yang paling kuat bukanlah yang dibentuk oleh perjanjian antar bangsa, melainkan persekutuan pribadi kita dengan Sang Pencipta. Mari kita belajar dari ayat ini untuk tidak pernah meremehkan kekuatan doa dan iman, serta selalu menempatkan kepercayaan kita sepenuhnya kepada TUHAN, sumber segala kemenangan.