"Maka pulanglah raja Ahab bin Omri dari peperangan itu dengan selamat, dan TUHAN berfirman, kata-Nya: 'Engkau telah melihat betapa Hama membalas kelakuannya itu kepada musuh-musuhnya.'
Kitab 2 Tawarikh pasal 18 menyajikan sebuah kisah yang sarat makna tentang hubungan antara kekuasaan duniawi dan bimbingan ilahi. Ayat 30, yang kita renungkan hari ini, menjadi penutup dari narasi pertemuan antara Raja Ahab dari Israel dan Raja Yosafat dari Yehuda, serta interaksi mereka dengan para nabi.
Kisah ini dimulai dengan aliansi antara dua kerajaan Israel. Raja Yosafat, yang dikenal sebagai raja yang berusaha mengikuti jalan Tuhan, tampaknya melakukan kesalahan strategis dengan menyetujui ajakan Ahab untuk berperang melawan Aram di Ramot-Gilead. Ahab, raja Israel yang terkenal karena kesetiaannya pada dewa-dewa asing dan penolakannya terhadap ajaran Tuhan, adalah sosok yang sangat kontras dengan Yosafat. Namun, dalam kerangka politik dan kekerabatan pada masa itu, aliansi semacam ini tidaklah aneh.
Sebelum berangkat perang, Yosafat dengan bijak meminta agar diselidiki apakah ada nabi Tuhan di Israel yang dapat dimintai nasihat. Ahab, dengan pongah, memanggil 400 nabinya yang kemudian memberikan ramalan yang memuakkan, menyarankan agar raja-raja itu maju ke medan perang karena akan meraih kemenangan. Namun, Nabi Mikha bin Yimla diutus oleh roh Tuhan untuk menyatakan kebenaran yang pahit. Mikha menubuatkan kekalahan dan kematian Ahab.
Ahab, yang terbiasa mendengar pujian, marah mendengar nubuat Mikha. Ia memerintahkan agar Mikha dipenjara dan diberi makan roti serta air tawar sampai ia kembali dari peperangan. Namun, Tuhan telah berfirman. Ayat 30, "Maka pulanglah raja Ahab bin Omri dari peperangan itu dengan selamat," mungkin terdengar seperti sebuah paradoks jika dilihat sekilas. Ahab memang selamat dari pertarungan langsung yang ia jalani, tetapi cerita selanjutnya dari Kitab Raja-raja menceritakan bagaimana ia akhirnya terbunuh oleh panah seorang pemanah dari pasukan Aram.
Penting untuk dicatat bahwa keselamatan fisik Ahab dari pertempuran itu bukanlah bukti kebenaran atau keberuntungan. Sebaliknya, itu adalah demonstrasi kekuatan firman Tuhan. Tuhan berfirman kepada Ahab, "Engkau telah melihat betapa Hama membalas kelakuannya itu kepada musuh-musuhnya." Frasa ini merujuk pada bagaimana Tuhan berurusan dengan orang-orang yang menentang-Nya dan bagaimana keadilan-Nya akan ditegakkan. Keselamatan sesaat Ahab dari kematian di medan perang, meskipun ia akhirnya akan menghadapi penghakiman, menunjukkan bahwa Tuhan mengendalikan jalannya sejarah, bahkan ketika manusia bertindak dengan ketidaksetiaan.
Pelajaran dari 2 Tawarikh 18:30 adalah bahwa meskipun kejahatan mungkin tampak berjaya sesaat, dan meskipun orang fasik mungkin lolos dari hukuman langsung, tidak ada yang luput dari pengawasan Tuhan. Kebenaran-Nya akan selalu menang pada akhirnya. Kisah ini juga mengingatkan kita akan pentingnya mendengarkan dan mengikuti firman Tuhan yang sejati, bukan suara-suara pujian yang menyesatkan. Nabi Mikha, meskipun menderita karena kebenaran yang diucapkannya, tetap setia pada panggilannya, dan pada akhirnya, nubuatnya tergenapi. Ini adalah pengingat bagi kita untuk selalu mencari kebenaran dan berserah pada kehendak Tuhan, bahkan di tengah ketidakpastian dan kesulitan.