"Dan Yosafat menjadi raja pada waktu ia berumur tiga puluh lima tahun dan memerintah di Yerusalem lima tahun lamanya. Nama ibunya ialah Abia, cucu deba dari Amri."
Ayat ini memperkenalkan kita kepada Raja Yosafat dari Yehuda, seorang pemimpin yang menandai era penting dalam sejarah kerajaan selatan. Yosafat naik takhta pada usia muda, tiga puluh lima tahun, sebuah usia yang sudah matang namun masih penuh semangat untuk memimpin. Masa pemerintahannya di Yerusalem, yang berlangsung selama lima tahun, terbukti menjadi periode yang penuh dengan kesuksesan dan stabilitas.
Kepemimpinannya tidak datang dengan sendirinya. Yosafat adalah putra dari Asa, seorang raja yang juga berusaha menyenangkan Tuhan. Namun, Yosafat melampaui ayahnya dalam kesetiaan kepada Tuhan. Ia dikenal karena membuang berhala-berhala dan memulihkan ibadah yang benar di Yehuda. Hal ini menunjukkan komitmennya yang mendalam terhadap hukum Tuhan dan keinginannya untuk melihat bangsanya kembali kepada jalan yang lurus.
Penyebutan nama ibunya, Abia, cucu deba dari Amri, memberikan konteks genealogis yang penting. Garis keturunan ini menghubungkannya dengan raja-raja sebelumnya, namun Yosafat memilih untuk tidak hanya mengikuti jejak leluhurnya, melainkan membangun fondasi yang lebih kuat di atas kesetiaan kepada Tuhan. Ini mengingatkan kita bahwa latar belakang keluarga penting, tetapi pilihan pribadi dalam mengikuti kehendak Tuhan adalah yang terpenting.
Masa lima tahun pemerintahannya yang pertama di Yerusalem adalah periode krusial untuk konsolidasi kekuasaannya dan penguatan dasar-dasar spiritual kerajaannya. Dalam Kitab 2 Tawarikh, kita sering menemukan bahwa keberhasilan seorang raja sangat erat kaitannya dengan kesetiaan mereka kepada Tuhan. Yosafat adalah contoh klasik dari hal ini. Ia tidak hanya fokus pada urusan duniawi, tetapi juga pada perkara rohani, yang pada akhirnya membawa berkat dan perlindungan ilahi.
Kisah Yosafat mengajarkan kita tentang pentingnya kepemimpinan yang berakar pada iman. Di tengah gejolak politik dan ancaman dari bangsa-bangsa tetangga, Yosafat memilih untuk mengutamakan Tuhan. Ia tidak mengandalkan kekuatan militer semata, tetapi mencari hikmat dan pertolongan dari Yang Maha Tinggi. Tawarikh mencatat bagaimana ia menghadapi ancaman invasi yang luar biasa dengan doa yang tulus dan keyakinan pada janji Tuhan.
Kesuksesan Yosafat bukan berarti ia tidak menghadapi tantangan. Namun, cara ia merespons tantangan tersebutlah yang membuatnya menjadi raja yang patut dicatat. Ia memahami bahwa kerajaan yang kuat dibangun di atas fondasi kebenaran dan keadilan, yang berlandaskan pada perintah Tuhan. Dengan demikian, Yosafat menjadi teladan bagi para pemimpin hingga kini, menunjukkan bahwa kesuksesan sejati datang dari ketaatan dan kepercayaan kepada Tuhan.
Simbol stabilitas dan kepemimpinan yang teguh.
Kisah Yosafat dalam 2 Tawarikh 20:31 membuka pintu untuk memahami bagaimana seorang raja yang setia dapat membawa kemakmuran dan kedamaian bagi kerajaannya. Ia adalah bukti nyata bahwa iman yang teguh kepada Tuhan adalah kunci utama keberhasilan, baik dalam skala individu maupun kolektif.