"Uziah berumur enam belas tahun pada waktu ia menjadi raja dan ia memerintah enam puluh lima tahun di Yerusalem. Nama ibunya ialah Yekhonia, dari Yerusalem."
Ayat 2 Tawarikh 26:4 memperkenalkan kita pada sosok Uziah, seorang raja Yehuda yang memulai pemerintahannya pada usia yang sangat muda, yaitu enam belas tahun. Fakta bahwa ia memerintah selama enam puluh lima tahun adalah indikasi yang kuat akan stabilitas dan keberlanjutan pemerintahannya. Periode kekuasaan yang panjang ini jarang terjadi dalam sejarah kerajaan, dan ini memberikan Uziah kesempatan unik untuk membentuk nasib Yehuda.
Namun, yang lebih penting dari usia dan lamanya pemerintahan adalah konteks spiritual yang dihadirkan oleh Kitab Tawarikh. Penekanan pada nama ibu Uziah, Yekhonia dari Yerusalem, mungkin menyiratkan asal-usulnya yang terhormat di dalam kota suci. Dalam tradisi Alkitab, latar belakang keluarga, terutama hubungan dengan Yerusalem dan Bait Allah, seringkali menjadi penanda penting dari kesalehan atau kesetiaan seseorang kepada Tuhan.
Kitab Tawarikh secara konsisten menilai raja-raja berdasarkan ketaatan mereka kepada Tuhan. Ayat ini, meskipun hanya sebuah fakta kronologis, menjadi fondasi untuk memahami bagaimana Uziah kemudian diperkenalkan dalam narasi Tawarikh. Ini mengisyaratkan bahwa Uziah, yang naik takhta di usia muda, memiliki potensi untuk mengikuti jejak para raja saleh sebelumnya, seperti Daud dan Hizkia, yang menjadikan Tuhan sebagai pusat pemerintahan mereka.
Dalam konteks yang lebih luas dari pasal 26, Uziah dikenang sebagai raja yang di awal pemerintahannya sangat taat kepada Tuhan. Kitab Tawarikh menyatakan, "Dan ia melakukan apa yang benar di mata TUHAN, sesuai dengan segala yang telah dilakukan ayahnya Amazia." (2 Tawarikh 26:4). Pernyataan ini sangat krusial. Ini bukan hanya sekadar mengikuti tradisi, tetapi secara aktif mencari dan melakukan apa yang berkenan di hadapan Tuhan.
Ketaatan Uziah kepada Tuhan menjadi kunci kesuksesan luar biasa yang kemudian ia raih. Di bawah kepemimpinannya, Yehuda mengalami periode kemakmuran, keamanan, dan ekspansi wilayah yang signifikan. Ia memperkuat pertahanan Yerusalem, membangun menara-menara, menggali banyak sumur, dan mengembangkan pertanian. Kekuatan militernya pun sangat tangguh, mampu menaklukkan bangsa-bangsa tetangga.
Semua pencapaian ini, menurut narasi Kitab Tawarikh, berakar pada fondasi spiritual yang kuat. Uziah menjadikan Tuhan sebagai sumber kekuatannya. Ia tidak bersandar pada kekayaan atau kekuatan militernya semata, melainkan pada hubungan yang benar dengan Penciptanya. Ini adalah pelajaran penting bagi para pemimpin dan juga bagi setiap individu: ketaatan kepada Tuhan adalah sumber kekuatan sejati yang membawa pada keberhasilan yang langgeng dan bermakna.
Kisah awal pemerintahan Uziah, sebagaimana disajikan dalam 2 Tawarikh 26:4, mengajarkan kita bahwa memimpin dengan integritas dan berpusat pada Tuhan sejak awal adalah fundamental. Usia muda bukanlah halangan untuk memikul tanggung jawab besar, asalkan didasari oleh keinginan untuk melakukan apa yang benar di mata Tuhan. Ketaatan yang tulus akan membuka jalan bagi berkat dan keberhasilan, tidak hanya dalam skala kerajaan tetapi juga dalam kehidupan pribadi.
Penting untuk diingat bahwa meskipun Uziah kemudian mengalami kejatuhan akibat kesombongan, permulaan pemerintahannya yang saleh tetap menjadi contoh teladan. Ini menunjukkan bahwa fondasi yang kuat, dibangun di atas ketaatan kepada Tuhan, adalah aset yang tak ternilai. Memulai segala sesuatu dengan mencari kehendak Tuhan dan hidup sesuai dengan Firman-Nya adalah kunci untuk membangun kehidupan yang kokoh dan penuh arti.