2 Tawarikh 28:4: Nasihat Berharga untuk Bangsa

"Dan memang ia melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, seperti nenek moyangnya; ia juga mempersembahkan dan membakar korban di bukit-bukit pengorbanan dan membakar kemenyan di atas bukit-bukit dan di bawah setiap pohon hijau."

Ayat Alkitab 2 Tawarikh 28:4 menyajikan sebuah gambaran yang suram namun penuh makna mengenai perilaku raja Ahas dan dampaknya terhadap Kerajaan Yehuda. Ayat ini secara ringkas namun kuat menggambarkan penyimpangan dari jalan Tuhan yang telah diwariskan, menggarisbawahi sebuah siklus kesalahan yang sering kali berulang dalam sejarah bangsa Israel. Tindakan mempersembahkan korban di tempat-tempat tinggi dan membakar kemenyan di bawah pohon-pohon hijau bukanlah sekadar ritual keagamaan; ini adalah penolakan terang-terangan terhadap perintah Tuhan untuk beribadah hanya kepada-Nya di tempat yang telah ditentukan.

Ilustrasi simbolis tempat pengorbanan dan pembakaran kemenyan.

Inti dari teguran ini adalah pengingat bahwa iman yang sejati bukanlah sekadar tradisi atau kebiasaan, melainkan sebuah hubungan yang hidup dengan Tuhan. Raja Ahas, dalam kesibukannya yang keliru, telah mengalihkan kesetiaan dari Sumber Kehidupan dan Perlindungan yang sesungguhnya kepada ilah-ilah asing dan praktik-praktik yang mendatangkan murka ilahi. Keputusan ini, yang diwarisi dari generasi sebelumnya, menunjukkan betapa mudahnya bangsa jatuh ke dalam penyembahan berhala dan melupakan janji-janji Tuhan.

Ayat ini juga berbicara tentang konsekuensi. Ketika sebuah bangsa atau individu berpaling dari Tuhan, mereka membuka diri terhadap bahaya dan kehancuran. Tindakan raja Ahas ini memang akhirnya berujung pada kekalahan dan penderitaan bagi Yehuda, sebagaimana dicatat dalam pasal-pasal selanjutnya. Ini adalah peringatan keras bahwa ketaatan kepada Tuhan adalah kunci keselamatan dan berkat, sementara ketidaktaatan membawa konsekuensi yang menyakitkan.

Dalam konteks modern, 2 Tawarikh 28:4 tetap relevan. Kita diingatkan untuk terus memeriksa hati dan praktik kita. Apakah kita setia hanya kepada Tuhan, ataukah kita telah membiarkan "ilah-ilah" lain seperti kekayaan, kekuasaan, popularitas, atau kesenangan duniawi mengambil tempat-Nya? Apakah kita membangun hubungan yang kuat dengan Tuhan melalui doa, firman, dan ibadah yang tulus, ataukah kita hanya mengikuti rutinitas tanpa makna? Nasihat dalam ayat ini mengajak kita untuk kembali kepada Tuhan dengan segenap hati, menolak segala bentuk penyembahan berhala modern, dan mengutamakan Dia dalam setiap aspek kehidupan kita. Kesetiaan kepada Tuhan bukan hanya kewajiban, tetapi juga sumber kekuatan, kedamaian, dan tujuan hidup yang sejati.