Demikianlah Manasye menyesatkan Yehuda dan penduduk Yerusalem, sehingga mereka berbuat lebih jahat dari pada bangsa-bangsa yang telah dimusnahkan oleh TUHAN dari hadapan orang Israel.
Ayat 2 Tawarikh 33:9 ini menjadi sorotan penting dalam catatan sejarah Kerajaan Yehuda. Ayat ini menggambarkan perilaku Raja Manasye, seorang raja yang seharusnya memimpin umat Tuhan dengan benar, namun justru tersesat dan menyesatkan seluruh rakyatnya. Deskripsi dalam ayat ini sangat kuat, menyatakan bahwa mereka berbuat "lebih jahat dari pada bangsa-bangsa yang telah dimusnahkan oleh TUHAN dari hadapan orang Israel". Ini adalah sebuah pernyataan yang sangat serius, menunjukkan betapa dalamnya jurang kesesatan yang mereka masuki.
Manasye memerintah Yehuda selama 55 tahun, menjadikannya salah satu raja terlama dalam sejarah Israel. Namun, masa pemerintahannya seringkali ditandai dengan kemurtadan dan penyembahan berhala. Berbeda dengan ayahnya, Hizkia, yang berusaha keras mengembalikan umat kepada penyembahan kepada TUHAN, Manasye justru membalikkan semua reformasi positif yang telah dilakukan. Ia mendirikan mezbah-mezbah untuk Baal, membuat patung Asyera, dan bahkan mempersembahkan anak-anaknya dalam api. Praktek-praktek ini adalah bentuk pelanggaran berat terhadap hukum Taurat dan perjanjian yang telah dibuat antara Allah dan umat Israel.
Kesesatan yang dipimpin oleh Manasye ini tidak hanya terbatas pada tindakan pribadi raja, tetapi juga menyebar ke seluruh negeri. Pengaruh seorang pemimpin sangat besar dalam menentukan arah moral dan spiritual bangsanya. Ketika raja menolak Tuhan, rakyat pun cenderung mengikutinya, baik karena tekanan, ketidakpedulian, maupun kesamaan pandangan. Akibatnya, Yerusalem dan Yehuda dipenuhi dengan praktik-praktik pagan yang menjijikkan di mata Tuhan. Kehancuran moral yang digambarkan dalam ayat ini menunjukkan bahwa mereka telah melampaui batas kesabaran Tuhan, bahkan lebih buruk daripada bangsa-bangsa kafir yang telah diusir oleh Israel untuk memberi mereka tempat.
Pesan dari 2 Tawarikh 33:9 ini adalah sebuah peringatan keras. Ia mengingatkan kita tentang bahaya kemurtadan, pentingnya kepemimpinan yang saleh, dan konsekuensi serius dari menolak Tuhan. Sejarah Manasye juga menunjukkan bahwa bahkan di tengah kegelapan yang pekat, selalu ada kemungkinan pertobatan. Meskipun Manasye pada akhirnya diasingkan dan mengalami penderitaan, ia kemudian merendahkan diri di hadapan Tuhan dan kembali kepada-Nya. Namun, ayat ini secara khusus menyoroti masa kesesatan dan pemberontakannya, sebuah periode yang menjadi noda gelap dalam sejarah Yehuda dan sebuah pengingat abadi tentang betapa mudahnya umat Tuhan jatuh ke dalam dosa jika tidak berpegang teguh pada firman-Nya. Keputusan untuk mengikuti Tuhan atau berpaling kepada berhala memiliki dampak yang luas, tidak hanya bagi individu, tetapi juga bagi seluruh komunitas.