Kitab Tawarikh, khususnya pasal 36 ayat 5, membawa kita pada periode krusial dalam sejarah Kerajaan Yehuda. Ayat ini memperkenalkan Raja Yoyakim, yang naik takhta pada usia muda, 25 tahun, dan memerintah selama sebelas tahun di Yerusalem. Usia yang relatif muda ini, dikombinasikan dengan lamanya masa pemerintahan, seharusnya menjadi kesempatan untuk memimpin bangsa menuju stabilitas dan ketaatan kepada Tuhan. Namun, sebaliknya, sejarah mencatat bahwa Yoyakim "melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, Allahnya." Pernyataan ini bukan sekadar catatan statistik usia dan lama memerintah, melainkan inti dari tragedi yang menimpa Yehuda.
Sebagai seorang raja, Yoyakim memegang kekuasaan besar untuk membentuk jalannya pemerintahan dan spiritualitas bangsanya. Sayangnya, ia memilih jalan yang bertentangan dengan kehendak ilahi. "Melakukan apa yang jahat" dalam konteks Perjanjian Lama mencakup berbagai aspek, mulai dari penyembahan berhala, penindasan terhadap rakyat miskin, ketidakadilan dalam hukum, hingga penolakan terhadap nabi-nabi yang diutus Tuhan untuk memperingatkan dan menuntun mereka. Sikap dan tindakan Yoyakim mencerminkan dekadensi moral dan spiritual yang telah merasuk dalam lapisan kepemimpinan Yehuda. Ia mengabaikan peringatan dan firman Tuhan, lebih memilih untuk mengikuti keinginan dan keuntungan pribadi atau golongan.
Periode pemerintahan Yoyakim juga ditandai dengan meningkatnya kekuatan Kekaisaran Babilon di bawah Raja Nebukadnezar. Ketidaktaatan Yehuda kepada Tuhan secara inheren membuat mereka rentan terhadap kekuatan eksternal. Alih-alih mencari perlindungan dan pemulihan melalui pertobatan, Yoyakim justru memilih strategi politik yang keliru, seringkali bersifat memberontak atau mencoba mencari sekutu yang tidak dapat diandalkan. Sikap inilah yang pada akhirnya mempercepat kehancuran. Ayat selanjutnya dalam kitab Tawarikh akan menceritakan bagaimana Nebukadnezar datang untuk menghukum Yehuda, dan Yoyakim sendiri ditawan dan dibawa ke Babel.
Pesan dari 2 Tawarikh 36:5 lebih dari sekadar narasi sejarah kuno. Ini adalah pengingat abadi tentang konsekuensi dari kepemimpinan yang menyimpang dari prinsip-prinsip ilahi. Ketika para pemimpin mengabaikan suara kebenaran dan memilih jalan kesombongan serta ketidaktaatan, bukan hanya mereka yang akan menanggung akibatnya, tetapi seluruh bangsa. Nasib Yehuda di bawah Yoyakim menjadi sebuah pelajaran yang keras tentang pentingnya ketaatan kepada Tuhan, bahkan di tingkat tertinggi pemerintahan. Hal ini menekankan bahwa kedaulatan Tuhan bersifat mutlak, dan ketidaktaatan terhadap-Nya akan selalu berujung pada konsekuensi yang serius, baik secara pribadi maupun kolektif. Kitab suci mendorong pembaca untuk merenungkan arti kepemimpinan yang bertanggung jawab dan kesetiaan yang teguh kepada Sang Pencipta.