"Aku akan binasa, tetapi aku akan melihat lagi, aku akan memandang lagi ke hadirat-Mu."
Ayat Ayub 10:19 adalah salah satu dari banyak ungkapan hati yang mendalam dari Ayub di tengah penderitaan yang luar biasa. Terjebak dalam kesengsaraan, kehilangan segala yang ia cintai, dan dilanda penyakit yang mengerikan, Ayub tidak gentar untuk mengakui realitas kehancurannya. Namun, di balik pengakuan yang terdengar fatalistik ini, tersimpan secercah harapan dan keyakinan yang tak tergoyahkan. Pernyataannya, "Aku akan binasa, tetapi aku akan melihat lagi, aku akan memandang lagi ke hadirat-Mu," bukanlah penyerahan diri tanpa perlawanan, melainkan sebuah pernyataan iman yang teguh di tengah kegelapan terpekat.
Dalam konteks kitab Ayub, seringkali kita melihat perdebatan teologis dan penderitaan manusia yang kompleks. Ayub terus-menerus mempertanyakan keadilan Tuhan, berargumen dengan sahabat-sahabatnya, dan bergumul dengan rasa sakit fisiknya yang tak tertahankan. Namun, ayat ini menyoroti momen kontemplasi yang unik. Ayub menyadari kedekatan kematian, sebuah kesadaran yang seringkali datang ketika seseorang dihadapkan pada penderitaan yang berkepanjangan. Ia tidak menyangkal kenyataan pahit bahwa ia sedang menuju kehancuran, baik secara fisik maupun mungkin secara sosial karena isolasi yang dialaminya. Kata "binasa" di sini bisa diartikan sebagai kematian fisik, atau kehancuran total dari segala aspek kehidupannya.
Namun, yang membuat ayat ini begitu kuat adalah kelanjutannya: "tetapi aku akan melihat lagi, aku akan memandang lagi ke hadirat-Mu." Bagian ini adalah inti dari harapan Ayub. Meskipun tubuhnya mungkin akan hancur dan kehidupannya di bumi berakhir, pikirannya, jiwanya, atau esensi dirinya akan terus ada. Keinginan untuk "melihat lagi" dan "memandang lagi ke hadirat-Mu" menunjukkan sebuah kerinduan mendalam untuk terhubung kembali dengan Tuhan, bahkan setelah kematian. Ini bukan sekadar keinginan untuk bertemu dengan Tuhan di akhirat, tetapi sebuah pengakuan akan sifat ilahi yang abadi dan keinginan untuk mengalami hadirat-Nya secara langsung dan personal.
Ayub, di tengah badai penderitaannya, tidak kehilangan fokusnya pada Tuhan. Ia mengakui bahwa akhir hidupnya mungkin dekat, namun ia juga mengakui bahwa hubungannya dengan Tuhan melampaui batas-batas kehidupan duniawi. Ini adalah pengingat yang kuat bagi kita bahwa bahkan dalam situasi terburuk sekalipun, harapan dapat ditemukan dalam keyakinan akan keberadaan ilahi dan kemungkinan koneksi abadi. Ayat ini mengajarkan kita untuk mencari makna dan harapan, tidak hanya dalam kemudahan hidup, tetapi juga dalam perjuangan dan bahkan dalam menghadapi kepedihan yang terdalam. Kebenaran yang diungkapkan Ayub adalah bahwa iman dapat memberikan pandangan yang melampaui penderitaan sementara, menuju keyakinan akan hadirat Tuhan yang kekal.
Merenungkan Ayub 10:19 mengajak kita untuk melihat penderitaan dari perspektif yang berbeda. Ini bukanlah tentang menyangkal rasa sakit, tetapi tentang menemukan kekuatan dan makna di dalamnya melalui mata iman. Ayub, sang teladan ketekunan, mengajarkan kita bahwa bahkan ketika segala sesuatu tampak hilang, harapan untuk memandang hadirat Tuhan tetap ada, menjadi mercusuar yang memandu kita melewati kegelapan menuju cahaya.
Pelajaran dari Ayub 10:19 ini dapat menjadi sumber kekuatan dan penghiburan bagi siapa saja yang sedang menghadapi masa sulit.