Ayub 15:3 - Kebijaksanaan yang Tampak

"Apakah orang berakal perlu menjawab dengan pengetahuan yang sia-sia, dan mengembangkan angin timur dengan perkataan yang tidak berarti?"

Simbol kebijaksanaan dan kejelasan.

Kutipan dari kitab Ayub ini menyentuh inti dari cara kita berkomunikasi dan berpikir. Ketika kita dihadapkan pada situasi yang sulit atau percakapan yang menantang, godaan untuk menjawab dengan gegabah, penuh spekulasi yang tidak berdasar, atau kata-kata yang hanya berkesan kosong sangatlah kuat. Ayub, dalam perdebatan panjangnya dengan teman-temannya, sering kali dihujani dengan argumen-argumen yang terasa lebih seperti serangan pribadi daripada upaya pencarian kebenaran. Ayat ini, yang diucapkan oleh salah satu temannya, Elifas, seolah mengingatkan kita akan pentingnya substansi dalam setiap ucapan.

Kata "pengetahuan yang sia-sia" mengacu pada gagasan yang dangkal, tidak didukung oleh fakta atau pemahaman yang mendalam. Ini adalah argumen yang mudah diucapkan tetapi tidak memiliki bobot, seperti "angin timur" yang seringkali dihubungkan dengan kekeringan dan kehancuran, atau perkataan yang "tidak berarti" yang seperti embusan napas yang cepat hilang tanpa meninggalkan jejak berarti. Dalam konteks Ayub, hal ini merujuk pada tuduhan dan penghakiman teman-temannya yang berdasarkan asumsi bahwa penderitaan Ayub pasti disebabkan oleh dosa tersembunyinya. Mereka menggunakan pengetahuan teologi yang mereka miliki, tetapi menerapkannya secara dangkal dan menyakitkan.

Pentingnya Bernalar Sebelum Berbicara

Ayat ini secara implisit mendorong kita untuk berhenti sejenak dan merenung sebelum merespons. Apakah respons kita didasarkan pada pemahaman yang matang, atau hanya sekadar reaksi emosional? Apakah kata-kata kita membangun dan membawa pencerahan, atau justru mengikis dan menambah kebingungan? Di era informasi yang melimpah ini, seringkali kita mudah terjebak dalam perdebatan tanpa akhir di media sosial, menyebarkan opini tanpa verifikasi, atau mengucapkan sesuatu yang kita sendiri belum sepenuhnya pahami.

Dalam hubungan pribadi, di tempat kerja, atau bahkan dalam percakapan sehari-hari, kemampuan untuk berbicara dengan bijak adalah anugerah. Ini bukan berarti kita harus selalu diam, tetapi setiap perkataan yang keluar dari bibir kita sebaiknya memiliki tujuan yang konstruktif. Menghindari "pengetahuan yang sia-sia" berarti kita berusaha untuk mencari kebenaran, memahami sudut pandang orang lain, dan menyampaikan pemikiran kita dengan jelas dan penuh hormat. Sebaliknya, perkataan yang "tidak berarti" adalah yang kosong dari kasih, hikmat, dan substansi, yang hanya menciptakan kebisingan tanpa solusi.

Renungan ini mengajak kita untuk memeriksa kualitas komunikasi kita. Apakah kita cenderung berbicara dari pemahaman yang mendalam atau sekadar reaktif? Apakah perkataan kita membawa kebaikan atau hanya menambah kebingungan? Marilah kita berupaya untuk berbicara dengan kebijaksanaan, mengisi percakapan kita dengan makna yang benar, dan menghindari godaan untuk hanya "mengembangkan angin timur" dengan kata-kata yang tak berarti. Kebijaksanaan yang sejati terpancar dari perkataan yang berbobot, penuh pemahaman, dan diarahkan pada kebaikan.