"Bukankah engkau yang pertama-tama dilihat? Atau engkau yang dilahirkan sebelum bukit-bukit?"
Ayat Ayub 15:7 mengajak kita merenungkan kedalaman eksistensi dan sejarah. Pertanyaan retoris yang diajukan oleh salah satu sahabat Ayub ini, yaitu Elifas, bukanlah sekadar gurauan, melainkan sebuah penegasan tentang betapa kunonya Ayub, seolah-olah ia telah ada semenjak permulaan waktu. "Bukankah engkau yang pertama-tama dilihat? Atau engkau yang dilahirkan sebelum bukit-bukit?"
Dalam konteks perdebatan yang sedang berlangsung, Elifas mencoba meyakinkan Ayub bahwa penderitaannya adalah akibat dosa yang ia perbuat. Dengan mengatakan Ayub begitu tua, ia menyiratkan bahwa Ayub memiliki banyak waktu untuk berbuat kesalahan dan menyimpan rahasia dosa. Ini adalah cara Elifas untuk mempertahankan pandangan teologis tradisionalnya, di mana penderitaan selalu dianggap sebagai hukuman langsung atas pelanggaran. Namun, apakah benar demikian?
Pertanyaan ini sebenarnya bisa diperluas menjadi sebuah refleksi yang lebih luas tentang keberadaan kita. Kita seringkali terpaku pada momen kini, pada permasalahan yang sedang dihadapi, tanpa menyadari betapa kecilnya diri kita dalam bentangan waktu yang tak terbatas. Sejarah manusia, bahkan sejarah alam semesta, telah berlangsung jauh sebelum kita ada, dan akan terus berlanjut jauh setelah kita tiada. Menyadari hal ini dapat membawa kerendahan hati yang mendalam.
Perenungan tentang usia dan permulaan juga bisa membawa kita pada pemahaman tentang sumber kehidupan yang sejati. Jika Ayub dibandingkan dengan sesuatu yang ada sebelum bukit-bukit, maka pertanyaan berikutnya yang muncul adalah: siapa yang "melahirkan" Ayub? Siapa yang "menciptakan" segalanya? Ayat ini secara implisit menunjuk pada Sang Pencipta yang kekal, yang keberadaannya melampaui segala ciptaan, termasuk Ayub sendiri. Sang Pencipta adalah sumber kehidupan yang asli, yang ada sebelum waktu dan ruang.
Dalam menghadapi kesulitan hidup, seperti yang dialami Ayub, seringkali kita merasa sendirian dan terbebani. Namun, pemahaman tentang kebesaran Tuhan dan kekekalan-Nya dapat memberikan perspektif baru. Penderitaan kita, betapapun beratnya, tetap berada dalam lingkup waktu yang diciptakan-Nya. Ini bukan berarti penderitaan itu diabaikan, melainkan bahwa ada sumber kekuatan dan pengharapan yang lebih besar yang melampaui situasi yang kita hadapi.
Mengacu kembali pada pertanyaan Elifas, kita bisa melihatnya bukan hanya sebagai tuduhan, tetapi sebagai sebuah undangan. Undangan untuk berpikir tentang siapa kita sebenarnya, dari mana kita berasal, dan kepada siapa kita bertanggung jawab. Kita bukanlah entitas yang terisolasi dalam ruang dan waktu. Kita adalah bagian dari rencana besar yang dijalankan oleh Tuhan yang mahakuasa dan kekal. Kesadaran ini dapat menolong kita untuk melihat penderitaan dengan mata yang berbeda, dengan harapan yang teguh, dan keyakinan bahwa Tuhan selalu bersama kita, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun. Inilah esensi dari kehidupan yang berakar pada kebenaran ilahi yang abadi.