Maka jawab Zofar orang Naama, katanya:
Dalam kisah Ayub, penderitaan yang dialaminya seringkali memicu perdebatan sengit dengan sahabat-sahabatnya. Zofar, salah seorang sahabat Ayub, muncul dalam dialog ini dengan pandangannya yang tajam. Ia mewakili suara yang cenderung menghakimi dan mencoba memberikan jawaban yang, menurutnya, adalah kebenaran mutlak atas penderitaan Ayub. Ayat pembuka ini menandai dimulainya argumen Zofar, sebuah fase penting dalam percakapan yang penuh dengan upaya mencari pemahaman, namun seringkali berakhir pada kesalahpahaman dan tuduhan. Penderitaan Ayub bukanlah sekadar cobaan fisik, melainkan juga ujian mental dan spiritual. Ia berjuang untuk memahami mengapa kebaikan dan kesalehannya dibalas dengan malapetaka sedemikian rupa. Dalam kegelapan dan kebingungan itu, ia mendambakan pengertian dan mungkin sedikit belas kasihan. Namun, yang ia dapatkan justru adalah argumen-argumen yang terkesan menghakimi dari sahabat-sahabatnya, termasuk Zofar. Pandangan Zofar yang kaku mencerminkan pandangan umum pada zamannya, bahwa penderitaan adalah buah langsung dari dosa. Ia tidak mampu melihat dimensi lain dari kesetiaan dan ujian iman yang sedang dialami Ayub. Zofar memulai perkataannya dengan nada yang tegas, seolah ia memegang kunci kebenaran. Ia berasumsi bahwa dirinya tahu persis apa yang salah dengan Ayub dan mengapa ia sampai berada dalam kondisi yang begitu buruk. Teks ini mengingatkan kita bahwa dalam situasi sulit, kata-kata yang terucap bisa menjadi sumber penghiburan atau justru menambah luka. Sikap Zofar yang dogmatis, tanpa mau mendengarkan lebih dalam pergumulan Ayub, menunjukkan bagaimana seringkali kita terjebak dalam pandangan sendiri, enggan untuk melihat persoalan dari sudut pandang orang lain yang sedang menderita. Pesan dari Ayub 18:1 ini, melampaui konteks religius, mengajarkan kita tentang pentingnya empati dan kepekaan. Ketika seseorang sedang terpuruk, respons yang paling dibutuhkan bukanlah penghakiman atau ceramah, melainkan telinga yang mau mendengar dan hati yang mau mengerti. Kita perlu belajar membedakan antara keinginan untuk memberi solusi yang cepat dengan kebutuhan untuk hadir menemani dalam proses pencarian jawaban. Ayub sedang berjuang dalam pertempuran besar dalam dirinya, dan suara-suara yang seharusnya menjadi pendukung justru menambah beban pikirannya. Hal ini menjadi refleksi penting bagi kita semua tentang bagaimana cara kita berinteraksi dengan mereka yang sedang menghadapi ujian hidup.