Ayub 20-21: Renungan Kehidupan Orang Fasik dan Keadaan Mereka

Renungan dari Kitab Ayub pasal 20 dan 21

Gambaran Kehidupan Orang Fasik

Kitab Ayub kembali menggugah kita untuk merenungkan makna kehidupan dan keadilan ilahi melalui perkataan Zofar, salah satu sahabat Ayub, dalam pasal 20. Zofar, dengan keyakinan teguhnya pada retribusi ilahi, melukiskan gambaran suram tentang nasib orang fasik. Ia menegaskan bahwa kemakmuran yang diraih oleh orang durjana hanyalah sementara, bagai mimpi buruk yang akan sirna saat terbangun.

Menurut Zofar, sukacita orang fasik bersifat singkat dan penuh kepalsuan. Mereka mungkin menikmati kekayaan dan kekuasaan dalam waktu singkat, namun semua itu akan lenyap tanpa bekas. Keturunan mereka akan menderita, harta benda mereka akan diambil oleh orang lain, dan mereka sendiri akan merasakan murka Allah yang tak terhindarkan. Zofar menggunakan perumpamaan yang kuat untuk menggambarkan kehancuran ini, seperti rumah yang dibangun di atas pasir yang akan runtuh saat badai menerjang, atau seperti makanan yang dimuntahkan kembali oleh perut.

Pasal ini menekankan bahwa kejahatan akan selalu berakhir pada kehancuran. Allah melihat segala perbuatan manusia, dan meskipun kadang tampak kejahatan itu berhasil, pada akhirnya keadilan-Nya akan ditegakkan. Kesombongan dan kerakusan orang fasik akan membawa mereka pada kejatuhan yang memalukan. Zofar berargumen bahwa kemakmuran orang fasik bukanlah tanda berkat Allah, melainkan hanya jeda sebelum penghukuman yang lebih berat datang.

Ketakutan dan Keadaan Orang Jahat

Melanjutkan perenungan tentang nasib orang yang menyimpang dari jalan kebenaran, Ayub dalam pasal 21 memberikan perspektif yang sedikit berbeda, meskipun tetap mengakui pada akhirnya kejahatan akan menuai akibatnya. Ayub mengakui bahwa terkadang orang jahat justru hidup makmur dan panjang umur, bahkan melampaui orang-orang saleh. Hal ini seringkali menimbulkan kebingungan dan pertanyaan di hati banyak orang. Mereka melihat orang jahat membangun rumah tangga yang kokoh, memiliki banyak anak, dan tidak pernah merasakan kekurangan.

Namun, Ayub juga menyoroti aspek lain dari kehidupan orang jahat yang tersembunyi dari pandangan luar. Meskipun secara fisik mereka mungkin tampak diberkati, batin mereka seringkali dipenuhi oleh ketakutan dan kegelisahan. Ketenangan jiwa dan kedamaian hati adalah hal yang langka bagi mereka. Mereka selalu khawatir akan kehilangan apa yang telah mereka peroleh dengan cara yang tidak benar. Suara hati nurani, atau bahkan ketakutan akan pembalasan ilahi, dapat menjadi siksaan yang tak berkesudahan.

Ayub kemudian menggambarkan bagaimana orang jahat seringkali hidup dalam ketakutan akan masa depan. Mereka tidak pernah benar-benar menikmati ketenangan. Bahkan di malam hari, ketakutan dapat menghantui mereka. Ketika mala petaka datang, mereka akan merasakan kehancuran yang mendalam, seolah-olah mereka telah dijatuhi hukuman yang setimpal. Ayub mengingatkan bahwa meskipun kejahatan kadang tampak beruntung di dunia ini, pada akhirnya Allah memiliki cara-Nya sendiri untuk menghakimi dan membalas setiap perbuatan.

Kedua pasal ini, Ayub 20 dan 21, bersama-sama memberikan gambaran yang kompleks namun mendalam tentang pertarungan antara kebaikan dan kejahatan, serta keadilan ilahi yang tak terelakkan. Kita diajak untuk tidak hanya melihat hasil akhir yang tampak di permukaan, tetapi juga merenungkan kualitas kehidupan batin dan ketakutan yang mungkin menyelimuti hati orang-orang yang memilih jalan kegelapan.