"Apa artinya kami beribadah kepada-Nya, dan apa gunanya kami berpuasa, jikalau Ia tidak mempedulikan kami?"
Ayub 21:15 adalah sebuah pernyataan yang mencerminkan pergumulan terdalam dan pertanyaan eksistensial yang dihadapi oleh Ayub dalam Kitab Ayub. Ayat ini diucapkan di tengah penderitaan luar biasa yang menimpanya, sebuah situasi di mana iman dan pemahaman tentang keadilan ilahi diuji hingga batasnya. Dalam konteks penderitaannya, Ayub mempertanyakan arti dan faedah dari ketaatan dan ibadahnya kepada Tuhan jika Tuhan tampak berdiam diri dan tidak memberikan respon atau solusi atas kesulitannya.
Pertanyaan Ayub bukanlah sebuah penolakan iman, melainkan sebuah ekspresi keputusasaan dan kebingungan. Ia bersama teman-temannya, yang selalu menganggap bahwa penderitaan adalah hukuman atas dosa, mulai meragukan prinsip-prinsip dasar yang selama ini ia pegang. Jika orang fasik, yang jelas-jelas tidak taat dan tidak beribadah, seringkali terlihat makmur dan hidup tanpa masalah, lalu apa gunanya ia yang setia beribadah dan berpuasa, jika hasilnya tetap sama, yaitu penderitaan? Pertanyaan ini menggema dalam hati banyak orang yang sedang bergumul dalam iman, terutama ketika menghadapi situasi sulit yang terasa tidak adil.
Makna dari ayat ini melampaui sekadar keluhan personal Ayub. Ini menyoroti tema universal tentang hubungan antara ketaatan, ibadah, dan keadilan ilahi. Banyak orang percaya pada prinsip bahwa kesetiaan kepada Tuhan akan mendatangkan berkat dan perlindungan. Namun, realitas kehidupan seringkali menunjukkan hal yang berbeda, di mana orang-orang saleh pun mengalami kesusahan yang sama, bahkan mungkin lebih parah, dibandingkan dengan mereka yang tidak mengenal Tuhan. Hal ini dapat menimbulkan keraguan dan memicu pertanyaan-pertanyaan sulit mengenai kebaikan dan kekuasaan Tuhan.
Dalam menafsirkan Ayub 21:15, penting untuk memahami bahwa Ayub pada saat itu berada dalam tahap keputusasaan yang mendalam. Ia sedang bergulat dengan kesalahpahaman teman-temannya yang terus menerus menyalahkannya atas penderitaannya. Ayat ini lebih mencerminkan kebingungannya daripada penolakan iman. Tuhan, pada akhirnya, tidak menyalahkan Ayub atas pertanyaan-pertanyaannya ini, melainkan membimbingnya pada pemahaman yang lebih dalam tentang kebesaran-Nya dan keterbatasan pemahaman manusia.
Refleksi dari Ayub 21:15 mengajarkan kita untuk tidak mudah menghakimi orang lain yang sedang menderita, karena kita tidak tahu pergumulan batin mereka. Ayat ini juga mengajak kita untuk terus setia beribadah dan berbuat baik bukan semata-mata demi imbalan yang terlihat di dunia ini, tetapi karena keyakinan pada kebaikan dan rencana Tuhan yang seringkali melampaui pemahaman kita. Kehidupan iman yang sejati seringkali diuji dalam masa-masa kesukaran, dan di sanalah iman kita dibentuk menjadi lebih kuat dan lebih murni. Pergumulan Ayub, termasuk pertanyaannya dalam ayat ini, akhirnya membawanya pada pemulihan dan pemahaman yang lebih mendalam tentang Tuhan.
Kita diundang untuk merenungkan arti ibadah dan ketaatan kita. Apakah ibadah kita hanya bersifat ritualistik, ataukah itu berasal dari hati yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan? Apakah kita berbuat baik hanya ketika ada keuntungan pribadi, ataukah kita melakukannya sebagai ekspresi kasih dan kesetiaan? Ayub 21:15 menjadi pengingat bahwa hubungan kita dengan Tuhan lebih dari sekadar transaksi sebab-akibat. Ini adalah hubungan yang mendalam, yang diuji dalam kesulitan, dan pada akhirnya, yang dapat membawa kita pada pertumbuhan spiritual yang luar biasa.