Ayat dari Kitab Ayub pasal 22, ayat 17, ini menyajikan sebuah gambaran yang kuat tentang sikap manusia terhadap Tuhan. Kalimat ini diucapkan oleh Elifaz, salah satu sahabat Ayub, dalam perdebatan sengit mereka mengenai penderitaan yang dialami Ayub. Elifaz, bersama teman-temannya, berargumen bahwa penderitaan Ayub pasti disebabkan oleh dosa yang tersembunyi. Mereka melihat Ayub sebagai seseorang yang, entah secara sadar atau tidak, telah mengabaikan atau bahkan menantang Tuhan.
Frasa "Jauhilah kami!" menggambarkan penolakan terhadap kehadiran atau tuntutan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Ini bisa berarti manusia secara sengaja menjauhkan diri dari ajaran agama, menolak untuk mengakui otoritas Ilahi, atau memilih untuk hidup sesuai dengan keinginan sendiri tanpa mempedulikan kehendak Tuhan. Sikap ini seringkali muncul dari rasa takut, ketidakpercayaan, atau kebanggaan diri yang berlebihan. Manusia mungkin merasa lebih nyaman berada di zona aman mereka sendiri, di mana mereka memiliki kendali penuh dan tidak perlu menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka di hadapan Pencipta.
Bagian kedua dari ayat tersebut, "Apa gunanya bagi Yang Mahakuasa?", mencerminkan keraguan dan pandangan sinis terhadap peran dan manfaat Tuhan dalam kehidupan manusia. Pertanyaan retoris ini menyiratkan bahwa Tuhan tidak memberikan keuntungan yang nyata atau signifikan, sehingga keberadaan-Nya tidak relevan atau bahkan merepotkan. Pandangan seperti ini seringkali datang dari pengalaman pribadi yang pahit atau dari pemikiran materialistis yang hanya menghargai apa yang bisa dilihat, diraba, dan diukur secara konkret. Mereka gagal memahami bahwa hubungan dengan Tuhan tidak selalu diukur dengan keuntungan duniawi semata, melainkan melalui kedamaian batin, moralitas yang luhur, dan harapan akan kehidupan abadi.
Dalam konteks Ayub, perkataan Elifaz ini mencerminkan kesalahpahaman mendalam tentang keadilan Tuhan dan sifat penderitaan. Sahabat-sahabat Ayub menganut pandangan teologi yang kaku, di mana kebaikan selalu berbanding lurus dengan kemakmuran, dan penderitaan adalah hukuman mutlak atas dosa. Ayub, di sisi lain, tetap teguh pada keyakinannya akan integritasnya, meskipun ia tidak sepenuhnya memahami alasan di balik cobaan yang dihadapinya. Ayat Ayub 22:17 menjadi saksi bisu dari konflik pemikiran ini, di mana sebagian orang menolak Tuhan karena ketidakmampuan mereka memahami cara kerja-Nya, sementara yang lain berusaha keras untuk mempertahankan iman di tengah kesulitan.
Fenomena yang digambarkan dalam Ayub 22:17 masih relevan hingga kini. Banyak orang di dunia modern memilih untuk hidup tanpa mengakui peran Tuhan dalam hidup mereka. Globalisasi, kemajuan teknologi, dan budaya individualisme terkadang mendorong manusia untuk merasa mandiri dan cukup dengan kekuatan mereka sendiri. Ajaran-ajaran spiritual seringkali dianggap usang atau tidak relevan dengan tuntutan kehidupan yang serba cepat dan materialistis. Pertanyaan tentang "apa gunanya bagi Yang Mahakuasa?" terus bergema dalam pikiran banyak orang yang skeptis atau apatis terhadap agama.
Namun, di balik penolakan dan keraguan tersebut, tersimpan kerinduan mendalam akan makna dan tujuan hidup yang lebih tinggi. Ayub 22:17 mengingatkan kita bahwa penolakan terhadap Tuhan seringkali berakar pada ketidakmampuan kita untuk melihat gambaran yang lebih besar, kebenaran yang melampaui pemahaman duniawi semata. Kebenaran ini hanya dapat diakses melalui iman, kerendahan hati, dan keterbukaan hati untuk menerima kehadiran-Nya, meskipun terkadang Ia memilih untuk bekerja dengan cara yang tidak dapat kita prediksi atau pahami sepenuhnya.
Memahami ayat ini membuka pintu untuk refleksi diri. Apakah kita, dalam kehidupan kita sehari-hari, secara sadar atau tidak, telah berkata kepada Tuhan "Jauhilah kami!"? Apakah kita pernah meragukan manfaat dari iman dan hubungan dengan Tuhan? Renungan atas Ayub 22:17 dapat mendorong kita untuk meninjau kembali sikap kita terhadap hal-hal spiritual, mencari kebenaran yang mungkin tersembunyi di balik keraguan dan penolakan, serta membuka hati untuk mengalami kehadiran dan kasih Tuhan yang tak terbatas.