"Sebab aku gentar menghadapi Dia, aku takut memikirkan Dia."
Frasa "Sebab aku gentar menghadapi Dia, aku takut memikirkan Dia" yang diucapkan oleh Ayub dalam pasal 23 ayat 15, mengungkapkan kedalaman rasa hormat dan ketakutan yang tulus di hadapan kebesaran Allah. Di tengah penderitaan yang tak terperikan, Ayub terus bergulat dengan misteri kehadiran Tuhan dan kuasa-Nya yang tak terjangkau. Perkataan ini bukanlah ekspresi ketakutan yang melumpuhkan atau keputusasaan, melainkan pengakuan akan kesucian dan keagungan Ilahi yang melampaui pemahaman manusia.
Kedaulatan Allah merujuk pada otoritas, kekuasaan, dan kendali mutlak-Nya atas seluruh ciptaan. Tidak ada satu pun peristiwa, pikiran, atau keberadaan yang berada di luar jangkauan-Nya. Bagi Ayub, penderitaannya yang luar biasa mungkin membuatnya mempertanyakan keadilan dan kebaikan Tuhan. Namun, di balik pertanyaan-pertanyaan itu, terdapat kesadaran mendasar bahwa ia berhadapan dengan Dzat yang Maha Kuasa, Sang Pencipta alam semesta.
Rasa gentar dan takut yang diungkapkan Ayub adalah bentuk kekaguman yang saleh. Ini adalah pengakuan akan jurang pemisah yang luas antara kesempurnaan Allah dan ketidaksempurnaan manusia. Kita, sebagai makhluk ciptaan, seringkali merasa kecil dan tidak berdaya ketika merenungkan kemegahan-Nya. Ketakutan ini muncul dari kesadaran akan dosalah kita dan betapa sedikitnya kita memahami jalan-jalan-Nya yang tak terselami.
"Keagungan-Nya begitu besar sehingga akal manusia tidak mampu memahami sepenuhnya. Namun, justru dalam ketakutan yang penuh hormat inilah kita menemukan kedamaian dan kepercayaan."
Meskipun terdengar paradoks, rasa takut yang benar kepada Tuhan justru membawa ketenangan. Firman Tuhan mengajarkan bahwa "takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan" (Amsal 1:7). Ketika kita mengakui kedaulatan-Nya, kita juga mengakui bahwa ada rencana yang lebih besar, hikmat yang tak terbatas, dan keadilan yang sempurna di balik segala sesuatu yang terjadi. Penderitaan Ayub, meskipun pahit, menjadi sarana bagi-Nya untuk menguji dan memurnikan imannya.
Bagi kita di era modern, menghadapi dunia yang penuh ketidakpastian dan tantangan, perenungan akan Ayub 23:15 dapat menjadi sumber kekuatan. Mengakui bahwa Allah memiliki kendali, bahkan ketika kita tidak memahaminya, dapat membebaskan kita dari kecemasan yang berlebihan. Kita tidak perlu mengerti semua alasan di balik setiap cobaan. Yang terpenting adalah kita percaya pada kedaulatan Allah yang baik dan penuh kasih.
Ayub akhirnya menemukan kedamaian bukan dengan memahami semua jawaban, tetapi dengan bertekun dalam iman dan menantikan campur tangan Tuhan. Ia belajar untuk mempercayai karakter Allah bahkan ketika situasi menentangnya. Maka, ketika kita merasa gentar atau takut memikirkan kebesaran-Nya, mari kita ingat bahwa itu adalah undangan untuk memperdalam iman kita dan menyerahkan kendali hidup kita kepada Sang Pencipta yang Maha Bijaksana.