Ayub 33:13 - Allah Berbicara, Dengarkah Manusia?

"Mengapakah engkau menggugat Dia? Sebab Dia tidak perlu mempertanggungjawabkan segala perbuatan-Nya."
?

Simbol pertanyaan dan dialog terbuka.

Kitab Ayub adalah sebuah narasi mendalam tentang penderitaan, iman, dan pertanyaan eksistensial. Di tengah badai tragedi yang menimpa Ayub, sahabat-sahabatnya datang untuk menghibur, namun seringkali malah menambah beban dengan argumen teologis mereka yang kaku. Salah satu suara yang muncul dalam percakapan ini adalah Elihu, seorang pemuda yang mencoba menawarkan perspektif baru. Ayat Ayub 33:13, yang diucapkan oleh Elihu, menyoroti sifat kedaulatan Allah yang tak terbantahkan.

Frasa "Mengapakah engkau menggugat Dia?" terdengar seperti sebuah teguran lembut, sebuah ajakan untuk merenung. Elihu melihat Ayub dalam pergulatan hebatnya, mencoba memahami mengapa dia, seorang yang saleh, harus mengalami begitu banyak kesakitan. Dalam upayanya mencari keadilan dan jawaban, Ayub seolah-olah menempatkan Allah di kursi pesakitan, menuntut pertanggungjawaban atas setiap tindakan ilahi. Namun, Elihu mengingatkan bahwa manusia, dengan keterbatasannya, tidak berada dalam posisi untuk menuntut penjelasan dari Sang Pencipta.

"Sebab Dia tidak perlu mempertanggungjawabkan segala perbuatan-Nya." Kalimat ini menekankan kesuperioran mutlak Allah. Allah bukan sekadar penguasa tertinggi, tetapi juga sumber segala kebaikan dan kebenaran. Kebijaksanaan-Nya jauh melampaui pemahaman manusia. Apa yang mungkin tampak sebagai ketidakadilan atau kekejaman dari sudut pandang manusia, seringkali memiliki tujuan yang lebih besar dan lebih mulia dalam rencana ilahi yang tidak dapat sepenuhnya kita pahami. Ini bukan berarti Allah bertindak semena-mena, tetapi kedaulatan-Nya berarti bahwa tindakan-Nya selalu benar, sekalipun kita tidak mengerti alasannya.

Dalam konteks modern, ayat ini dapat menjadi pengingat penting bagi kita. Betapa seringnya kita merasa berhak untuk mempertanyakan kehendak Tuhan, terutama ketika menghadapi kesulitan. Kita mungkin bertanya, "Mengapa ini terjadi padaku?" atau "Apa salahku?" Seolah-olah kita memegang kunci untuk memahami seluruh rencana-Nya. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Elihu, hikmat ilahi adalah samudra yang luas, sementara pemahaman manusia hanyalah setetes air.

Alih-alih menggugat, kita dipanggil untuk berserah dan mempercayai. Ini tidak berarti pasif dalam menghadapi masalah, tetapi meletakkan fondasi iman yang teguh, menyadari bahwa Allah mengendalikan segalanya dengan kasih dan kebijaksanaan yang sempurna. Kedaulatan-Nya bukanlah ancaman, melainkan jaminan bahwa segala sesuatu pada akhirnya akan membawa kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia. Maka, marilah kita belajar dari Ayub dan Elihu, tidak hanya dalam menghadapi penderitaan, tetapi juga dalam bagaimana kita mendekati misteri ilahi: dengan kerendahan hati, kepercayaan, dan keinginan untuk mendengar suara-Nya, bukan hanya menuntut jawaban. Dengarkanlah Dia, sebab Dia adalah sumber segala kebenaran.