Firman Tuhan dalam kitab Ayub, khususnya pada pasal 40 ayat 7, mengajak kita untuk merenungkan kedudukan manusia di hadapan Sang Pencipta. Di tengah pergumulan hidup yang seringkali terasa berat dan tidak adil, manusia cenderung mencari alasan, menyalahkan pihak lain, atau bahkan mempertanyakan keadilan Ilahi. Namun, Allah melalui firman-Nya menegur keras kecenderungan ini. "Akankah engkau menyalahkan Aku untuk membenarkan dirimu?" adalah pertanyaan retoris yang tajam, menyoroti kesombongan manusia yang ingin menempatkan dirinya sebagai hakim atas ketetapan Tuhan.
Kitab Ayub secara keseluruhan mengisahkan perjuangan Ayub, seorang yang saleh, yang dihantam berbagai cobaan dahsyat. Ia kehilangan harta, keluarga, dan kesehatannya. Dalam kepedihan mendalam, Ayub dan teman-temannya berdebat panjang, berusaha mencari penjelasan atas penderitaannya. Teman-temannya bersikeras bahwa penderitaan Ayub pasti disebabkan oleh dosa-dosanya, sebuah pemahaman teologis yang umum saat itu. Namun, Ayub bersikeras bahwa ia tidak layak menerima murka seperti itu, dan ia ingin menghadap Allah untuk membuktikan ketidakbersalahannya.
Ayat ketujuh dari pasal 40 ini muncul sebagai respons Allah yang langsung menantang Ayub. Ini bukan sekadar dialog antara manusia dan manusia, tetapi sebuah penyataan keagungan Ilahi yang melampaui pemahaman manusia. Allah tidak meminta Ayub untuk membela-Nya dari tuduhan yang tidak ada, melainkan menantang Ayub untuk mempertimbangkan implikasi dari upayanya membenarkan diri sendiri dengan menyalahkan Tuhan. Jika Ayub merasa berhak untuk mengoreksi atau menghakimi Tuhan, apakah itu berarti ia menganggap dirinya lebih benar dan lebih adil daripada Sang Pencipta yang mahatahu dan mahakuasa?
Pertanyaan kedua, "Atau akankah engkau membela Aku, supaya Aku dihukum?" semakin memperjelas maksud Tuhan. Jika Ayub mencoba membela Tuhan dari kesalahan yang dituduhkan kepadanya (yang sebenarnya tidak pernah dituduhkan oleh Tuhan), apakah itu berarti ia mengakui bahwa Tuhan memang bisa bersalah dan perlu dibela, seperti layaknya manusia yang diadili? Ini adalah jebakan logika yang menyoroti ketidakmampuan manusia untuk memahami sepenuhnya cara kerja dan keadilan Tuhan.
Melalui ayat ini, kita diajak untuk bertobat dari segala bentuk pemikiran yang menempatkan kita sejajar, atau bahkan di atas, Tuhan. Keagungan dan kedaulatan-Nya tidak dapat diukur dengan standar manusiawi. Ketidakmampuan kita untuk memahami setiap detail rencana-Nya tidak lantas menjadikan-Nya salah atau tidak adil. Sebaliknya, kita dipanggil untuk berserah, percaya, dan menghormati kekudusan serta hikmat-Nya yang sempurna. Perenungan atas Ayub 40:7 seharusnya membawa kita pada kerendahan hati, pengakuan akan keterbatasan kita, dan kepercayaan yang teguh pada kebaikan serta keadilan Tuhan, bahkan ketika kita tidak memahaminya. Inilah inti dari hubungan yang sehat antara pencipta dan ciptaan.