"Jika tiba-tiba Ia membinasakan, siapakah yang dapat menggugat-Nya? Siapa yang dapat berkata kepada-Nya: 'Apakah yang Kauterbuat?'"
Ayat dari Kitab Ayub ini membawa kita pada refleksi mendalam tentang sifat keadilan ilahi dan keterbatasan pemahaman manusia. Dalam konteks penderitaan Ayub yang luar biasa, ia merenungkan tentang kekuatan dan kedaulatan Allah yang begitu besar sehingga tidak ada seorang pun yang mampu mempertanyakan atau menentang keputusan-Nya. Kata-kata ini bukanlah ungkapan ketidakpercayaan, melainkan pengakuan atas misteri kehendak Tuhan yang seringkali melampaui logika dan pengalaman manusia. Di tengah badai cobaan, Ayub bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan fundamental: Mengapa orang benar menderita? Mengapa kejahatan seolah-olah berjaya? Ia merasakan ketidakadilan yang mengerikan dalam hidupnya, namun di sisi lain, ia juga menyadari bahwa Allah adalah sumber segala keberadaan, pencipta langit dan bumi, yang memiliki hikmat dan kuasa tak terbatas. Pemikiran ini menuntunnya pada kesadaran bahwa mencoba mengukur keadilan Tuhan dengan standar manusia adalah sebuah kesia-siaan. Keadilan ilahi, sebagaimana digambarkan dalam Ayub 9:23, bukanlah sekadar pembalasan atau ganjaran dalam pengertian yang sempit. Ini adalah keadilan yang berakar pada kesucian, kebijaksanaan, dan kedaulatan mutlak Tuhan. Ketika kita menghadapi situasi yang tampak tidak adil, ayat ini mengingatkan kita untuk mengarahkan pandangan pada kebesaran Tuhan. Seringkali, apa yang terlihat sebagai "pembinasaan" atau "kegagalan" dari sudut pandang manusia, sesungguhnya adalah bagian dari rencana ilahi yang lebih besar yang belum sepenuhnya kita pahami. Refleksi atas ayat ini mendorong kita untuk mengembangkan sikap kerendahan hati di hadapan Tuhan. Kita diingatkan bahwa kita adalah ciptaan, dan Dia adalah Sang Pencipta. Upaya untuk mencari jawaban lengkap atas setiap "mengapa" dalam hidup mungkin tidak akan pernah sepenuhnya terpuaskan selagi kita masih berada di dunia ini. Namun, keyakinan pada kebaikan dan keadilan-Nya, meskipun tak terlihat sepenuhnya, dapat memberikan kekuatan dan penghiburan. Pertanyaan "Siapakah yang dapat berkata kepada-Nya: 'Apakah yang Kauterbuat?'" menggarisbawahi jurang pemisah antara hikmat manusia yang terbatas dan hikmat Tuhan yang tak terbatas. Tidak ada manusia, betapapun bijaksana atau berkuasanya, yang dapat meminta pertanggungjawaban dari Sang Pencipta. Kehidupan ini, dengan segala suka dukanya, berada di tangan-Nya. Oleh karena itu, meskipun sulit, kita dipanggil untuk percaya bahwa di balik setiap kejadian, ada tujuan ilahi yang berdaulat. Dalam menghadapi ketidakpastian dan penderitaan, Ayub 9:23 menawarkan sebuah perspektif yang menenangkan: bahwa kedaulatan dan keadilan Tuhan adalah mutlak. Hal ini tidak berarti kita tidak boleh mencari pemahaman atau bahkan bertanya, tetapi kita harus melakukannya dengan kesadaran akan tempat kita sebagai makhluk ciptaan. Keadilan ilahi mungkin tidak selalu selaras dengan harapan dan pemahaman kita, tetapi kebenaran tentang kebesaran-Nya tetap teguh.