Ilustrasi konsep wahyu dan pemahaman yang terang.
Ayat ke-171 dari Surah Al-Baqarah ini menyajikan sebuah perumpamaan yang sangat kuat mengenai kondisi orang-orang kafir. Mereka digambarkan seperti seseorang yang meneriaki sesuatu yang tidak mampu menangkap makna, melainkan hanya mendengar suara tanpa arti. Perumpamaan ini menekankan ketidakmampuan mereka untuk memahami kebenaran yang disampaikan, serupa dengan keadaan tuli, bisu, dan buta. Keadaan ini bukan sekadar fisik, tetapi lebih kepada kondisi spiritual dan intelektual yang tertutup terhadap petunjuk ilahi.
Menarik untuk merenungkan keterkaitan antara ayat ini dengan konsep bilangan 17 dan 1. Bilangan 17 seringkali diasosiasikan dengan hal-hal yang kompleks, tantangan, atau bahkan terkadang dipandang sebagai angka yang membawa keberuntungan atau kesialan dalam berbagai budaya. Namun, dalam konteks spiritual, angka ini bisa dimaknai sebagai ujian yang mendalam, di mana pemahaman sejati membutuhkan lebih dari sekadar indra fisik.
Ayat ini mengingatkan kita bahwa kebenaran tidak dapat ditangkap hanya melalui pendengaran semata, melainkan memerlukan pemahaman yang utuh. Ketiadaan pemahaman inilah yang menjadikan suara kebenaran hanya sebatas kebisingan yang lewat. Mereka tidak mampu membedakan mana yang nasihat dan mana yang hanya omongan kosong, serupa dengan orang yang hanya mendengar teriakan tanpa substansi. Mereka tuli terhadap panggilan kebaikan, bisu dalam menyampaikan kebenaran, dan buta dalam melihat tanda-tanda kekuasaan Allah.
Sementara itu, bilangan 1 adalah representasi keesaan, kesatuan, dan permulaan. Dalam Islam, tauhid (keesaan Allah) adalah inti dari segala ajaran. Ketika kita menghubungkan bilangan 1 dengan ayat Al-Baqarah 171, kita bisa melihat kontras yang tajam. Orang-orang kafir, meskipun mendengar ayat-ayat Allah, namun penolakan mereka terhadap tauhid menjadikan mereka "tuli, bisu, dan buta." Mereka menolak kebenaran tunggal yang ditawarkan oleh Allah.
Bilangan 171 juga bisa dibaca sebagai gabungan 17 dan 1. Angka 17 sebagai ujian atau tantangan, dan angka 1 sebagai ajakan untuk kembali kepada keesaan Allah. Jika seseorang mampu melewati "ujian" (17) dari keraguan dan hawa nafsu, maka ia akan kembali kepada "keesaan" (1) yang hakiki, yaitu memahami dan menerima kebenaran tunggal dari Allah. Sebaliknya, jika kegagalan dalam memahami kebenaran ini terjadi, maka seseorang akan tetap terperangkap dalam ketulian, kebisuan, dan kebutaan spiritualnya.
Perumpamaan dalam ayat ini juga relevan dalam kehidupan sehari-hari. Seringkali kita menemukan orang yang terbuka terhadap berbagai macam informasi, namun kesulitan memilah mana yang benar dan mana yang salah. Mereka hanya mendengar, tanpa benar-benar memahami dan merenungkan. Tanpa keinginan untuk mencari kebenaran yang hakiki, semua nasihat dan peringatan akan berlalu begitu saja, tidak meninggalkan bekas dalam hati maupun akal. Oleh karena itu, ayat ini menjadi pengingat yang sangat penting bagi kita untuk senantiasa memohon kepada Allah agar dianugerahi pendengaran yang peka terhadap kebenaran, lisan yang mampu menyuarakan kebaikan, dan hati serta mata yang terbuka untuk memahami tanda-tanda-Nya, sehingga kita tidak termasuk dalam golongan yang tuli, bisu, dan buta. Memahami makna bilangan 17 dan 1 dalam konteks ayat ini membantu kita untuk melihat tantangan dalam menerima kebenaran dan pentingnya kembali kepada inti ajaran Islam, yaitu tauhid.