"Adapun kelima orang putri Zelfhad, yang adalah anak Zelfhad, anak Hefer, anak Gilead, anak Makir, anak Manasye, dari kaum-kaum Manasye anak Yusuf, mereka ini meminta hak pusaka atas nama kaumnya kepada Musa dan kepada para pemimpin, di hadapan jemaah itu, di pintu Kemah Pertemuan. Kata mereka: "Bapamu mati di padang gurun, dan ia tidak termasuk orang-orang yang berkumpul melawan TUHAN dalam sekutu Korah, tetapi ia mati karena dosanya sendiri, dan ia tidak mempunyai anak laki-laki. Mengapakah nama bapa kami harus dilenyapkan dari antara kaumnya, karena ia tidak mempunyai anak laki-laki? Berikanlah hak pusaka kepada kami di tengah-tengah saudara-saudara bapa kami." (Bilangan 27:1-4)"
Kitab Bilangan dalam Alkitab menyimpan banyak kisah yang sarat makna dan pelajaran bagi kehidupan kita. Dua ayat kunci yang sering menjadi sorotan adalah Bilangan 27 dan Bilangan 12. Meski tampak hanya sekadar angka, di balik bilangan ini tersimpan narasi tentang keberanian, keadilan, dan bagaimana Tuhan merespons permohonan umat-Nya.
Kisah dalam Bilangan 27 memperkenalkan kita pada lima orang putri Zelfhad. Mereka berasal dari suku Manasye, namun menghadapi sebuah dilema hukum yang rumit terkait hak waris. Ayah mereka, Zelfhad, tidak meninggalkan anak laki-laki. Dalam tradisi masyarakat Israel saat itu, hak waris biasanya jatuh kepada anak laki-laki. Namun, para putri ini tidak tinggal diam. Dengan keberanian luar biasa, mereka menghadap Musa, para pemimpin, dan seluruh jemaah di Kemah Pertemuan. Permohonan mereka begitu jelas: mereka tidak ingin nama ayah mereka lenyap dari kaumnya hanya karena tidak memiliki pewaris laki-laki.
Permohonan ini bukan sekadar permintaan harta benda, melainkan perjuangan untuk mempertahankan identitas keluarga dan memastikan warisan leluhur tidak terputus. Keberanian mereka patut diapresiasi. Mereka tidak tunduk pada norma yang berlaku tanpa mempertanyakan keadilannya. Kisah ini menunjukkan bahwa perempuan pun memiliki suara dan berhak memperjuangkan hak-haknya, bahkan di tengah struktur sosial yang patriarkal. Musa sendiri terdiam, dan ia membawa perkara ini kepada Tuhan. Respons Tuhan pun tegas dan adil: Ia memerintahkan agar hak waris diberikan kepada kelima putri tersebut, menetapkan hukum baru yang memberikan hak yang sama bagi perempuan untuk mewarisi harta benda jika tidak ada anak laki-laki. Ini adalah kemenangan keadilan dan pengakuan atas nilai setiap individu di hadapan Tuhan.
Sementara itu, Bilangan 12 membawa kita pada sebuah episode yang berbeda, namun tak kalah penting. Ayat ini mencatat tentang Miryam dan Harun, kakak dan abang Musa, yang mulai mengkritik dan menentang Musa karena pernikahannya dengan perempuan Kush. Mereka merasa memiliki otoritas yang sama, bahkan mungkin lebih, sebagai nabi dan pemimpin umat. Namun, cara mereka menyampaikan kritik tersebut kurang berkenan di hadapan Tuhan. Tuhan turun dalam tiang awan dan memanggil Harun serta Miryam. Di hadapan mereka, Tuhan menyatakan bahwa Musa adalah hamba-Nya yang istimewa, yang dipercayai-Nya dalam seluruh rumah-Nya.
Menariknya, teguran Tuhan tidak ditujukan pada isi kritik mereka, melainkan pada cara dan motivasi mereka. Tuhan menegaskan bahwa Ia berbicara kepada para nabi dalam penglihatan atau mimpi, namun kepada Musa, Ia berbicara dengan terang-terangan. Ini menunjukkan betapa uniknya hubungan Musa dengan Tuhan. Akibat dari tindakan mereka, Miryam terkena kusta putih dan harus disingkirkan dari perkemahan selama tujuh hari. Harun menyadari kesalahan mereka dan memohon kepada Musa untuk mengampuni mereka. Musa, yang dikenal dengan kelembutan hatinya, berdoa bagi Miryam. Kejadian ini mengajarkan tentang pentingnya bersikap hormat kepada pemimpin yang diurapi Tuhan, serta bahaya dari hati yang iri dan suka mengkritik dengan cara yang tidak membangun. Ini juga menunjukkan bahwa bahkan orang-orang dekat Tuhan pun bisa berbuat salah.
Kedua kisah ini, meskipun berbeda konteksnya, saling melengkapi dalam memberikan pemahaman tentang cara kerja Tuhan dan nilai-nilai yang Ia junjung tinggi. Bilangan 27 mengajarkan tentang keberanian untuk bersuara demi keadilan dan hak yang setara, serta bagaimana Tuhan mendengarkan dan merespons permohonan umat-Nya dengan keadilan. Sementara itu, Bilangan 12 mengingatkan kita akan pentingnya kerendahan hati, hormat kepada otoritas yang diberikan Tuhan, dan bahaya dari hati yang tidak tulus dalam bersikap.
Angka 27 dan 12, lebih dari sekadar nomor urut, adalah pengingat akan hikmah abadi tentang keberanian, keadilan, dan kesetiaan. Mereka adalah pelajaran yang relevan hingga kini, mendorong kita untuk hidup dalam kebenaran, keberanian, dan rasa hormat.