Hakim-hakim 11:38 - Kisah Yefta dan Penyerahan Putri

"Kata perempuan itu: 'Bapakku, jika sekali-kali engkau telah membuka mulutmu kepada TUHAN, maka perbuatlah kepadaku, seperti yang telah keluar dari mulutmu, oleh karena TUHAN telah membalas dendam kepada musuh-musuhmu, yakni bani Amon.'"

Kisah yang terukir dalam Kitab Hakim-hakim, khususnya pada pasal 11 ayat 38, menghadirkan sebuah momen yang sangat emosional dan penuh pengorbanan. Ayat ini merupakan puncak dari sebuah janji yang diucapkan oleh Yefta, seorang tokoh penting dalam sejarah Israel, yang dikenal sebagai seorang hakim dan pejuang gagah berani. Cerita ini menggambarkan betapa beratnya konsekuensi dari sebuah janji yang dibuat tanpa pertimbangan matang, serta ketaatan yang luar biasa dari seorang putri.

Yefta, yang diasingkan oleh saudara-saudaranya, dipanggil kembali oleh para tua-tua Israel ketika mereka menghadapi ancaman invasi dari bani Amon. Dalam keputusasaannya untuk meraih kemenangan, Yefta mengucapkan sebuah janji kepada TUHAN. Ia berjanji, "Jika Engkau, ya TUHAN, menyerahkan bani Amon ke dalam tanganku, maka barangsiapa yang pertama keluar dari pintu rumahku untuk menyongsong aku, ketika aku kembali dengan selamat dari bani Amon, dia akan menjadi milik TUHAN, dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran." Janji ini, yang diucapkan dalam kondisi genting, kelak akan membawa konsekuensi yang mengharukan.

Tuhan menjawab doa Yefta. Ia memberikan kemenangan besar atas bani Amon. Namun, kebahagiaan atas kemenangan itu segera berubah menjadi duka cita yang mendalam ketika Yefta kembali ke rumahnya. Orang pertama yang keluar menyambutnya dengan sorak-sorai kegembiraan adalah putrinya sendiri, satu-satunya anaknya, yang keluar menari-nari dengan rebana. Sang putri, yang belum menikah dan belum punya keturunan, menjadi objek dari janji Yefta. Ironisnya, orang yang paling dicintainya justru harus menanggung beban dari janjinya.

Di sinilah kita melihat keagungan dari hakim-hakim 11 38. Sang putri, alih-alih memberontak atau menuntut ayahnya membatalkan janji, justru menunjukkan ketaatan yang luar biasa. Ia menerima nasibnya dengan lapang dada. Ia meminta waktu dua bulan untuk pergi ke pegunungan bersama sahabat-sahabatnya, bukan untuk melarikan diri, tetapi untuk menangisi keperawanannya. Permintaan ini menunjukkan kedalaman rasa kehilangan dan kesedihan, namun tetap dalam kerangka penerimaan terhadap kehendak Tuhan dan penghormatan terhadap janji ayahnya.

Dalam ayat ini, sang putri berkata kepada Yefta, "Bapakku, jika sekali-kali engkau telah membuka mulutmu kepada TUHAN, maka perbuatlah kepadaku, seperti yang telah keluar dari mulutmu, oleh karena TUHAN telah membalas dendam kepada musuh-musuhmu, yakni bani Amon." Kata-kata ini mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang kedaulatan Tuhan dan pentingnya menepati janji, bahkan ketika harga yang harus dibayar sangatlah mahal. Ini adalah pengorbanan terbesar, di mana kehidupan seorang anak dipersembahkan demi ketaatan kepada Tuhan dan kehormatan seorang ayah.

Kisah hakim-hakim 11 38 seringkali menjadi subjek perdebatan teologis mengenai praktik korban bakaran manusia pada masa itu. Namun, yang paling menonjol dari kisah ini adalah pelajaran tentang integritas, ketaatan, dan dampak dari keputusan yang diambil. Yefta, sebagai seorang hakim, memimpin bangsanya melalui masa sulit, dan dalam konteks ini, ia juga menunjukkan keteguhan dalam menepati sumpahnya. Sang putri pula menjadi simbol pengorbanan murni dan penerimaan yang dalam.

Pengalaman Yefta dan putrinya mengingatkan kita akan pentingnya berhati-hati dalam mengucapkan janji, terutama kepada Tuhan. Janji yang tulus dan diucapkan dengan kesadaran penuh adalah ikatan yang sakral. Keteguhan hati Yefta dan kesediaan putrinya untuk menanggung akibat dari janji tersebut menunjukkan betapa seriusnya mereka memandang hubungan mereka dengan Tuhan. Kisah ini tetap relevan hingga kini, mengajarkan tentang konsekuensi tindakan dan kekuatan iman di tengah cobaan yang paling berat.