Dan ia berkata: "Aku akan mati bersama orang Filistin ini." Lalu ia mengerahkan sekuat-kuatnya dan meruntuhkan kedua tiang tengah, yang menopang rumah itu, lalu bertolak kepada mereka, ke kiri dan ke kanan, supaya mengenai aku dan mengenai orang banyak yang di sana, dan ia mati.
Kisah Hakim-Hakim pasal 16 memaparkan narasi tentang seorang tokoh yang penuh kekuatan luar biasa namun rentan terhadap kelemahan manusiawi. Ayat 19, secara spesifik, menggambarkan momen klimaks yang dramatis dari kehidupan Simson, hakim Israel yang terkenal. Di sini, kita menyaksikan bukan sekadar akhir dari seorang pahlawan, tetapi juga sebuah pernyataan kuat tentang konsekuensi dari pilihan, pengkhianatan, dan penebusan yang menyakitkan.
Simson, yang telah dikhianati oleh Delila dan kehilangan kekuatannya setelah rambutnya dipotong, dibiarkan lemah dan diperbudak oleh orang Filistin. Dalam kesendirian dan keputusasaan, di hadapan kerumunan besar orang Filistin yang bersorak-sorai di sebuah kuil, ia memohon kepada Tuhan untuk sekali lagi memberinya kekuatan. Doa ini dijawab, dan dengan kekuatan yang dipulihkan, Simson melakukan tindakan terakhirnya yang monumental.
Ayat ini sungguh menggetarkan. Simson tidak hanya menyerah pada nasibnya. Sebaliknya, ia memilih untuk melakukan sebuah tindakan penyerangan terakhir yang menghancurkan. Dengan meruntuhkan dua tiang penyangga utama kuil, ia membawa seluruh bangunan itu menimpa dirinya sendiri dan seluruh hadirin orang Filistin. Ini adalah pengorbanan diri yang luar biasa, sebuah tindakan keberanian yang diinspirasi oleh keinginan untuk membalas dendam dan, mungkin, untuk mengakhiri hidupnya dengan tujuan yang mulia, meskipun tragis.
Peristiwa ini membawa beberapa refleksi mendalam. Pertama, ia menunjukkan sifat dua sisi dari kekuatan. Kekuatan Simson, yang seharusnya menjadi alat untuk membela bangsanya, akhirnya menjadi sumber kehancurannya ketika disalahgunakan dan dikendalikan oleh hawa nafsu serta kelemahan. Kejatuhannya mengingatkan kita bahwa bahkan individu yang paling kuat pun dapat jatuh jika tidak berhati-hati. Kedua, kisah ini menggarisbawahi tema penebusan yang menyakitkan. Di akhir hidupnya, Simson tampaknya menemukan semacam pemenuhan dengan mengorbankan dirinya untuk membawa kehancuran kepada musuh bangsanya. Kematiannya, meskipun tragis, adalah sebuah kemenangan simbolis.
Pesan dari Hakim-Hakim 16:19 bergema hingga kini. Ia berbicara tentang harga yang harus dibayar untuk pengkhianatan, tentang kekuatan yang bisa menjadi kutukan, dan tentang keberanian yang bisa muncul dari situasi paling putus asa. Simson, dengan segala kekuatannya yang luar biasa dan kelemahannya yang manusiawi, tetap menjadi figur yang kompleks dan menarik dalam sejarah. Kematiannya bukan hanya akhir dari seorang hakim, tetapi sebuah pengingat abadi akan perjuangan antara kekuatan dan kelemahan, antara kebebasan dan perbudakan, serta pengorbanan yang terkadang harus dilakukan demi sebuah tujuan yang lebih besar.
Kisah ini mengajarkan kita untuk selalu waspada terhadap sumber kekuatan kita dan bagaimana kita menggunakannya. Ia mengingatkan bahwa, bahkan dalam kehancuran, ada potensi untuk tindakan terakhir yang berdampak besar. Simson mungkin telah jatuh, tetapi tindakannya di akhir hayatnya terus berbicara tentang keputusasaan yang berubah menjadi keberanian yang menghancurkan.