"Dan Hizkia telah memisahkan diri dari orang Kanaan yang diam di Gezer dan berdiam di kota Daud."
Kisah yang terbentang dalam Kitab Hakim-hakim seringkali menggambarkan masa-masa kelam dalam sejarah Israel, di mana bangsa ini berulang kali jatuh ke dalam dosa dan kemudian ditindas oleh bangsa-bangsa lain. Namun, di tengah siklus pemberontakan dan penebusan ini, selalu ada secercah harapan yang ditawarkan melalui kepemimpinan para hakim yang diutus Tuhan. Ayat Hakim-hakim 4:11, meskipun singkat, memberikan gambaran tentang sebuah tindakan krusial yang dilakukan oleh Hizkia, seorang pemimpin yang memilih untuk memisahkan diri dari pengaruh yang menyesatkan dan berpegang teguh pada warisan leluhurnya. Tindakan ini menjadi simbol dari keberanian untuk berbeda demi menjaga kemurnian iman dan identitas.
Dalam konteks sejarah Israel, berdiam di "kota Daud" memiliki makna yang mendalam. Kota Daud, atau Yerusalem, adalah pusat spiritual dan politik kerajaan, tempat Tabut Perjanjian pernah bersemayam dan di mana pemerintahan yang saleh seharusnya ditegakkan. Dengan memisahkan diri dari orang Kanaan yang berdiam di Gezer, Hizkia secara aktif menolak penyembahan berhala dan gaya hidup yang bertentangan dengan hukum Tuhan. Gezer, pada masa itu, dikenal sebagai kota yang kuat namun juga rentan terhadap pengaruh budaya Kanaan yang seringkali korup. Pemilihan untuk berpindah dan berdiam di kota Daud bukan sekadar perpindahan geografis, melainkan sebuah pernyataan iman yang tegas.
Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya membuat pilihan yang berani di tengah godaan dan tekanan lingkungan. Dalam kehidupan modern, kita mungkin tidak berhadapan langsung dengan bangsa Kanaan, tetapi kita terus-menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan yang menguji kesetiaan kita pada prinsip-prinsip moral dan spiritual. Pengaruh media, tren budaya, dan tekanan sosial terkadang mendorong kita untuk mengkompromikan nilai-nilai yang seharusnya kita pegang teguh. Sebagaimana Hizkia memisahkan diri dari praktik-praktik yang tidak berkenan di hadapan Tuhan, kita pun dipanggil untuk secara sadar memilih lingkungan, pergaulan, dan prioritas yang mendukung pertumbuhan rohani kita.
Fokus pada Hakim-hakim 4:11 menggarisbawahi bahwa keselamatan dan kemenangan sejati datang dari ketaatan kepada Tuhan. Dengan memilih untuk berasosiasi dengan tempat dan tradisi yang mengingatkan pada perjanjian dengan Tuhan, Hizkia menempatkan dirinya dan rakyatnya di bawah perlindungan-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan untuk menjaga jarak dari hal-hal yang dapat mencemari iman adalah langkah awal yang penting untuk mengalami anugerah dan kekuatan ilahi. Kisah ini adalah pengingat bahwa meskipun dunia menawarkan banyak hal, "kota Daud" – yaitu komunitas iman yang kokoh dan hubungan yang intim dengan Tuhan – adalah tempat di mana kita dapat menemukan kedamaian, perlindungan, dan kemenangan yang langgeng.
Pemilihan frasa "memisahkan diri" menekankan aspek aktif dalam iman. Ini bukan tentang pasif menerima keadaan, melainkan tentang mengambil langkah proaktif untuk membedakan diri dari kebiasaan atau lingkungan yang negatif. Dalam pertempuran rohani, menjaga kemurnian hati dan pikiran adalah strategi yang sangat penting. Seperti Hizkia yang sadar akan risiko percampuran dengan budaya yang berbeda, kita juga perlu bijak dalam memilih apa yang kita izinkan masuk ke dalam hidup kita. Keputusan ini pada akhirnya akan menentukan arah spiritual kita dan sejauh mana kita dapat mengalami janji-janji Tuhan dalam hidup kita, sebagaimana digambarkan dalam kisah para hakim-hakim yang memimpin umat-Nya menuju kelepasan.