Hakim-hakim 8:23

Tetapi Gideon berkata: "Aku tidak akan memerintah kamu, dan anakku pun tidak akan memerintah kamu; TUHANlah yang akan memerintah kamu."

Simbol Kedaulatan Tuhan

Ayat dari Kitab Hakim-hakim pasal 8, ayat 23 ini, menyajikan sebuah momen yang sangat berkesan dalam sejarah Israel, di mana seorang pemimpin yang dipilih Tuhan, Gideon, menunjukkan kerendahan hati dan kesetiaan yang luar biasa kepada Kedaulatan Ilahi. Setelah serangkaian kemenangan gemilang yang dipimpin olehnya melawan bangsa Midian, Gideon dan bangsa Israel sangat terkesan dengan pencapaian mereka. Orang-orang Israel, yang terkesan oleh kepemimpinan Gideon, sangat ingin mengangkatnya menjadi raja. Mereka menawarkan posisi kekuasaan turun-temurun kepada Gideon dan keluarganya. Ini adalah tawaran yang sangat menarik, sebuah kesempatan untuk mendirikan dinasti dan memerintah sebuah bangsa.

Namun, respons Gideon sungguh mengejutkan dan penuh hikmat. Ia menolak tawaran tersebut dengan tegas. Penolakannya bukan didasari oleh ketidakmampuan atau keraguan akan kemampuannya sendiri, melainkan oleh pemahaman mendalam tentang siapa yang seharusnya memegang kendali sejati. Gideon dengan jelas menyatakan, "Aku tidak akan memerintah kamu, dan anakku pun tidak akan memerintah kamu; TUHANlah yang akan memerintah kamu." Pernyataan ini mencerminkan pengakuan yang tulus bahwa segala kekuatan dan kemenangan yang telah mereka alami berasal dari campur tangan Tuhan. Gideon memahami bahwa posisinya sebagai pemimpin hanyalah alat Tuhan, dan mandatnya adalah untuk menuntun umat-Nya menuju ketaatan kepada Tuhan, bukan untuk menggantikan peran Tuhan dalam kehidupan mereka.

Kisah ini memberikan pelajaran yang berharga bagi kita. Dalam kehidupan pribadi maupun kolektif, seringkali kita tergoda untuk mencari dan membangun kekuasaan manusiawi, mencari figur-figur yang bisa kita jadikan pemimpin absolut, atau bahkan kita sendiri berambisi untuk mendominasi. Namun, kebenaran yang disampaikan Gideon mengingatkan kita bahwa pada akhirnya, otoritas tertinggi berada di tangan Tuhan. Ketenangan sejati, kedamaian yang kokoh, dan keberhasilan yang langgeng tidak dapat dibangun di atas fondasi kekuasaan manusia semata, melainkan pada penyerahan diri kepada kehendak Tuhan.

Penolakan Gideon terhadap posisi raja juga menunjukkan bahwa ia telah belajar dari kesalahan pemimpin-pemimpin Israel sebelumnya dan bahkan dari pengalaman bangsa Israel yang sering kali berpaling dari Tuhan. Ia tidak ingin menciptakan satu lagi potensi penyembahan berhala dalam bentuk pemujaan terhadap pemimpin manusia. Sebaliknya, ia ingin memastikan bahwa fokus seluruh bangsa tetap tertuju pada Tuhan sebagai Raja mereka yang sah dan kekal. Kerendahan hati Gideon adalah cerminan iman yang kuat, sebuah kesadaran akan ketidakmampuan manusia untuk memegang kuasa tanpa kesalahan dan kelemahan.

Pesan Hakim-hakim 8:23 tetap relevan hingga kini. Ia mengajak kita untuk merefleksikan siapa yang benar-benar kita akui sebagai penguasa dalam hidup kita. Apakah kita menyerahkan kendali kepada ambisi pribadi, kekayaan, popularitas, atau justru kepada tuntunan Tuhan? Memilih Tuhan sebagai penguasa berarti mengakui bahwa segala sesuatu ada dalam kendali-Nya, dan kita hanya diminta untuk menjadi pelayan yang setia dalam setiap peran yang Dia berikan. Ini adalah fondasi ketenangan yang tidak tergoyahkan, sebuah kepastian di tengah badai kehidupan.