Kisah yang tercatat dalam Kitab Hakim pasal 9 ayat 23 ini menawarkan sebuah narasi yang mendalam tentang bagaimana sebuah kekuasaan yang dibangun di atas pondasi yang rapuh dapat dengan cepat runtuh. Ayat ini secara ringkas menggambarkan titik balik penting dalam cerita Abimelekh, seorang yang ambisius yang berupaya menguasai Israel dengan cara yang tidak terpuji.
Abimelekh, putra Gideon dari seorang gundik, membunuh saudara-saudaranya sendiri untuk mengukuhkan klaimnya atas kekuasaan di Ofra. Ia kemudian diangkat menjadi raja oleh penduduk Sikhem. Namun, pemerintahannya tidak dibangun di atas prinsip keadilan, integritas, atau persetujuan ilahi. Sebaliknya, kekuasaannya didasarkan pada kekerasan, ambisi pribadi, dan manipulasi.
Ayat 23 ini memberikan kunci pemahaman: "Maka Allah mendatangkan roh perselisihan di antara Abimelekh dan orang-orang Sikhem itu, sehingga orang-orang Sikhem itu berkhianat terhadap Abimelekh." Pernyataan ini tidak menyiratkan bahwa Allah secara aktif menciptakan kejahatan, melainkan bahwa Dia mengizinkan atau menggunakan kondisi yang ada untuk mewujudkan keadilan-Nya. Dalam konteks ini, Allah membiarkan perselisihan tumbuh di antara mereka yang awalnya bersatu di bawah kepentingan pribadi. Orang-orang Sikhem, yang tadinya mendukung Abimelekh, mulai melihat motif tersembunyi dan kekejaman di balik tahtanya.
Fenomena ini mengajarkan kita pelajaran berharga tentang sifat hubungan yang tidak didasari kebenaran. Ketika sekutu-sekutu bersatu bukan karena prinsip yang kuat melainkan karena keuntungan sementara atau ketakutan, ikatan tersebut sangat rentan. Kepercayaan yang dibangun di atas dasar yang goyah pasti akan terkikis. "Roh perselisihan" yang Allah izinkan hadir adalah manifestasi dari ketegangan yang sudah ada di dalam hati orang-orang Sikhem, mungkin rasa bersalah karena mendukung pembunuhan saudara-saudara Abimelekh, atau ketakutan akan tirani yang terus berkembang.
Konsekuensi dari perselisihan ini segera terlihat. Orang-orang Sikhem, yang sebelumnya menjadi tulang punggung kekuasaan Abimelekh, kini berbalik melawannya. Pemberontakan ini menunjukkan betapa tidak stabilnya pemerintahan yang tidak mendapatkan persetujuan ilahi dan tidak didasarkan pada prinsip moral yang benar. Keadilan ilahi seringkali bekerja melalui proses alami yang membiarkan konsekuensi dari tindakan buruk muncul.
Kisah Abimelekh mengingatkan kita bahwa ambisi yang tidak terkendali dan cara-cara yang tidak etis untuk meraih kekuasaan pada akhirnya akan membawa kehancuran. Hubungan yang sehat dan masyarakat yang stabil harus dibangun di atas kepercayaan, integritas, dan rasa hormat terhadap kebenaran. Ketika pondasi ini goyah, "roh perselisihan" dapat dengan mudah merusak segalanya, sama seperti yang terjadi pada Abimelekh dan para pendukungnya.
Merenungkan Hakim 9:23 memberikan kita pemahaman yang lebih dalam tentang cara kerja keadilan ilahi dan pentingnya membangun kehidupan serta komunitas di atas prinsip-prinsip yang kokoh dan abadi. Keteguhan iman dan integritas adalah fondasi yang jauh lebih kuat daripada kesepakatan yang dibangun di atas ketakutan atau keuntungan sesaat.