"Dan Zebul, walikota kota itu, mendengar perkataan Abimelekh, dan marahnya bangkit."
Kisah Hakim 9:30 membawa kita pada sebuah momen krusial dalam sejarah bangsa Israel, di mana gejolak perebutan kekuasaan dan ambisi pribadi mulai mewarnai jalannya pemerintahan. Ayat ini secara spesifik menyoroti reaksi Zebul, yang menjabat sebagai walikota kota itu (kemungkinan besar Syekhem), ketika mendengar kata-kata Abimelekh. Keterangan "marahnya bangkit" menunjukkan bahwa Zebul tidak sekadar mendengar, tetapi merasakan ada sesuatu yang mengusik hati dan jabatannya. Ini adalah awal dari rangkaian peristiwa yang akan membawa kehancuran dan penderitaan bagi banyak pihak.
Abimelekh, putra Gideon, telah melakukan tindakan kejam dengan membunuh saudara-saudaranya sendiri, kecuali Yetam yang berhasil melarikan diri. Ambisinya untuk menjadi penguasa tunggal membuatnya rela menumpahkan darah keluarganya. Tindakannya ini tentu saja menimbulkan reaksi yang beragam di kalangan masyarakat dan para pemimpin lokal seperti Zebul. Marahnya Zebul bisa diartikan sebagai bentuk ketidaksetujuan atas cara Abimelekh meraih kekuasaan, atau mungkin kekhawatiran akan stabilitas kota yang dipimpinnya di bawah seorang tiran yang haus darah.
Kisah Abimelekh dan Zebul ini adalah cerminan dari permasalahan yang kerap muncul dalam kepemimpinan: antara integritas dan ambisi, antara kebenaran dan kebohongan, antara keadilan dan kesewenang-wenangan. Ketegangan yang digambarkan dalam ayat ini menjadi prolog bagi narasi tentang bagaimana keserakahan dan kekerasan dapat merusak sebuah komunitas. Zebul, sebagai figur otoritas lokal, berada dalam posisi sulit; ia harus menghadapi kenyataan kekuasaan Abimelekh yang brutal, sementara hati nuraninya mungkin memberontak.
Meskipun berasal dari konteks sejarah yang jauh berbeda, kisah ini tetap relevan bagi kita. Kita diingatkan akan pentingnya menjaga integritas dalam setiap tindakan, terutama bagi mereka yang memegang tanggung jawab publik. Amarah Zebul bisa menjadi pengingat bahwa ketidakadilan, sekecil apapun, pada akhirnya akan memicu gejolak dan konsekuensi yang lebih besar. Penting bagi kita untuk selalu mempertanyakan dan menolak segala bentuk kekerasan serta ketidakadilan, baik dalam skala kecil maupun besar.
Kisah Hakim 9:30 juga mengajarkan kita tentang bahaya ambisi yang tidak terkendali. Abimelekh ingin menjadi raja tanpa memperhatikan prinsip-prinsip moral, dan akibatnya adalah kehancuran. Dalam kehidupan pribadi maupun profesional, penting untuk memiliki ambisi yang disertai dengan etika dan pertimbangan kemanusiaan. Membangun sesuatu di atas dasar kebohongan dan kekerasan akan selalu rapuh dan pada akhirnya akan runtuh. Mari kita jadikan ayat ini sebagai pengingat untuk selalu berjuang demi kebenaran dan keadilan, serta menolak segala bentuk kejahatan yang dapat merusak tatanan kehidupan.
Kisah ini juga mengingatkan kita bahwa keputusan dan tindakan para pemimpin memiliki dampak yang luas bagi masyarakat. Ketika seorang pemimpin bertindak dengan kejam dan semena-mena, seperti Abimelekh, seluruh komunitas akan merasakan akibatnya. Marahnya Zebul adalah suara hati nurani yang mungkin terbungkam oleh kekuatan yang ada, namun ia tetap menjadi saksi bisu dari ketidakberesan yang terjadi. Kita diajak untuk senantiasa mendukung pemimpin yang adil dan berintegritas, serta menentang segala bentuk penindasan.
Dengan memahami kisah ini, kita dapat lebih bijak dalam menilai kepemimpinan di sekitar kita dan mengambil langkah yang benar untuk mendukung terciptanya masyarakat yang adil dan damai. Keadilan yang murni, seperti cahaya yang menerangi kegelapan, adalah fondasi bagi kesejahteraan setiap bangsa.