Ayat dari Kitab Kejadian 42:18 ini, "Dan Yusuf berkata kepada mereka: 'Lakukanlah ini, supaya kamu hidup; aku takut kepada Allah,'" merupakan momen krusial dalam narasi Yusuf. Setelah bertahun-tahun menderita akibat pengkhianatan saudara-saudaranya, Yusuf, yang kini berkuasa di Mesir, menghadapi mereka tanpa mereka kenali. Mereka datang untuk membeli gandum di tengah kelaparan yang melanda negeri Kanaan. Di sini, Yusuf menguji mereka, sebuah proses yang penuh dengan ketegangan dan pengungkapan diri yang lambat.
Pernyataan Yusuf "aku takut kepada Allah" menjadi inti dari kebijakannya dalam situasi ini. Ini bukan sekadar ekspresi ketakutan ritual, melainkan pengakuan mendalam akan kedaulatan Ilahi dan tanggung jawab moral. Ketakutan ini mendorong Yusuf untuk bertindak dengan cara yang adil dan penuh belas kasih, meskipun ada kesempatan untuk membalas dendam atas perlakuan buruk yang diterimanya di masa lalu. Ia memilih untuk menggunakan kekuasaannya bukan untuk membalas, melainkan untuk membawa keselamatan bagi keluarganya.
Dalam konteks keluarga Yakub, tindakan Yusuf ini menjadi pelajaran berharga tentang penebusan dan pemulihan. Saudara-saudaranya yang dulu menjualnya ke perbudakan kini berada dalam posisinya yang rentan, dan Yusuf memiliki kekuatan untuk memperlakukan mereka seperti mereka memperlakukannya. Namun, ia memilih jalan yang berbeda, jalan yang dipandu oleh rasa takutnya kepada Allah dan pemahamannya bahwa Allah memiliki rencana yang lebih besar di balik semua kejadian itu. Ia menyadari bahwa Allah dapat menggunakan kejahatan yang dilakukan manusia untuk kebaikan yang lebih besar.
Kisah Yusuf adalah bukti nyata dari bagaimana kebaikan dan belas kasih Allah dapat bekerja bahkan melalui situasi yang paling gelap. Perintah Yusuf kepada saudara-saudaranya, "Lakukanlah ini, supaya kamu hidup," menunjukkan bahwa tindakannya berakar pada keinginan untuk menyelamatkan, bukan menghukum. Ia menawarkan kesempatan bagi mereka untuk belajar, bertumbuh, dan pada akhirnya, menerima pengampunan. Penekanannya pada "takut kepada Allah" juga mengingatkan kita akan pentingnya moralitas yang berakar pada kesadaran ilahi, sebuah prinsip yang relevan dalam setiap aspek kehidupan.
Kisah ini mengajarkan bahwa pengampunan, meskipun sulit, adalah jalan yang dipilih oleh Allah dan yang dapat membebaskan kita dari belenggu masa lalu. Yusuf, melalui tindakan dan kata-katanya, menunjukkan bahwa kebesaran seseorang tidak diukur dari kekuasaannya untuk menghukum, melainkan dari kemampuannya untuk mengampuni dan membawa kehidupan. Kejadian 42:18 bukan hanya tentang satu ayat, tetapi tentang seluruh narasi transformasi, penebusan, dan kebaikan Allah yang tak terduga. Ini adalah pengingat bahwa, bahkan ketika kita merasa paling terbuang atau tidak berarti, Allah dapat mengangkat kita dan menggunakan kita untuk tujuan yang mulia, memulihkan hubungan dan membawa keutuhan.
Belajar dari Yusuf, kita diundang untuk merenungkan bagaimana kita merespons pengkhianatan dan kesulitan. Apakah kita memilih jalan pembalasan atau jalan pengampunan yang dipandu oleh kesadaran akan kebenaran Ilahi? Cerita ini menginspirasi kita untuk mencari cara agar kebaikan dan belas kasih Allah dapat dinyatakan melalui hidup kita, membawa harapan dan kehidupan bagi mereka yang membutuhkan.