"Tiga kali dalam setahun seluruh kaum laki-lakimu harus menghadap hadirat TUHAN, Allahmu, di tempat yang akan dipilih-Nya, pada hari raya Roti Tidak Beragi, pada hari raya Tujuh Minggu dan pada hari raya Pondok Daun. Janganlah seorang menghadap hadirat TUHAN dengan tangan hampa."
Ayat ini dari kitab Keluaran mengingatkan kita akan pentingnya perayaan dan pelayanan dalam kehidupan rohani. Tiga kali dalam setahun, seluruh kaum laki-laki Israel diperintahkan untuk datang ke hadirat Tuhan. Perintah ini bukan sekadar ritual, melainkan sebuah pengingat akan kesetiaan Tuhan dan kewajiban umat-Nya untuk merespons dengan rasa syukur dan hormat. Perintah ini menekankan frekuensi pertemuan dengan Tuhan yang harus dilakukan secara teratur, menunjukkan bahwa hubungan dengan Allah bukanlah sesuatu yang dilakukan sesekali, melainkan sebuah prioritas yang berkelanjutan.
Perayaan yang disebutkan—hari raya Roti Tidak Beragi, hari raya Tujuh Minggu (kemudian dikenal sebagai Pentakosta), dan hari raya Pondok Daun—memiliki makna mendalam. Hari raya Roti Tidak Beragi merayakan kebebasan dari perbudakan di Mesir, mengingatkan akan kasih karunia penebusan Tuhan. Hari raya Tujuh Minggu merayakan panen gandum pertama, menjadi tanda pengucapan syukur atas berkat materi yang diberikan Tuhan. Sementara itu, hari raya Pondok Daun merayakan masa pengembaraan di padang gurun, mengingatkan umat akan pemeliharaan dan perlindungan Tuhan dalam setiap keadaan.
Lebih dari sekadar partisipasi dalam upacara, ada instruksi penting lainnya: "Janganlah seorang menghadap hadirat TUHAN dengan tangan hampa." Ini berarti setiap kedatangan di hadapan Tuhan harus disertai dengan persembahan. Persembahan ini bisa berupa korban syukur, persepuluhan, atau bentuk pemberian lainnya yang melambangkan penyerahan diri dan pengakuan atas semua yang telah Tuhan berikan. Frasa "tangan hampa" menyiratkan kehampaan, ketidakpedulian, atau ketidakberdayaan. Tuhan ingin umat-Nya datang dengan kesadaran penuh akan apa yang telah Dia lakukan dan kesediaan untuk memberi kembali sebagai respons.
Dalam konteks modern, prinsip ini tetap relevan. Perintah untuk berkumpul tiga kali setahun dapat diinterpretasikan sebagai panggilan untuk aktif dalam komunitas gereja, beribadah bersama, dan merayakan perbuatan Tuhan. Kesibukan hidup tidak boleh menjadi alasan untuk melupakan kewajiban kita kepada Sang Pencipta. Begitu pula, konsep "tangan hampa" mengajarkan kita untuk tidak datang kepada Tuhan hanya dengan kata-kata kosong, tetapi dengan hati yang bersyukur, kesediaan untuk melayani, dan kemurahan hati dalam memberikan waktu, talenta, dan sumber daya kita. Kita harus selalu ingat bahwa setiap berkat yang kita miliki berasal dari Tuhan, dan keluaran 23 17 mengingatkan kita akan siklus pemberian dan penerimaan yang seimbang dalam hubungan kita dengan Dia. Pelayanan dan perayaan yang tulus adalah bentuk penghormatan tertinggi kita.
Memahami keluaran 23 17 memberikan perspektif yang kaya tentang bagaimana seharusnya respons kita terhadap Tuhan. Ini bukan hanya tentang kepatuhan, tetapi tentang hubungan yang dinamis, penuh penghargaan, dan saling memberi. Dengan menjaga pola hidup yang melibatkan perayaan, pelayanan, dan pemberian yang tulus, kita menunjukkan penghargaan kita yang mendalam terhadap kebaikan Tuhan dalam kehidupan kita.