Kidung Agung 5:7

"Aku menyuruh kamu, hai puteri-puteri Yerusalem,
apakah kamu melihat kekasihku? Katakanlah kepadanya,
bahwa aku sakit cinta."

Simbol hati yang melambangkan cinta dan kerinduan.

Kidung Agung pasal 5 ayat 7 menyajikan momen emosional yang mendalam. Pengantin wanita, yang merindukan kekasihnya, memberikan sebuah instruksi kepada para "puteri Yerusalem" – yang dapat diartikan sebagai teman-teman atau bahkan penjaga kota. Permintaannya sederhana namun sarat makna: menyampaikan pesan kerinduan dan "sakit cinta" kepada sang kekasih. Ayat ini bukan sekadar ungkapan rindu biasa, melainkan sebuah metafora tentang intensitas cinta yang dirasakan begitu kuat hingga terasa menyiksa.

Dalam konteks Kitab Kidung Agung, keseluruhan kitab ini adalah sebuah perumpamaan tentang cinta. Banyak penafsir melihatnya sebagai gambaran cinta antara Kristus (sang kekasih) dan gereja-Nya (sang pengantin wanita), atau antara jiwa individu dan Tuhan. Jika kita mengambil perspektif ini, "sakit cinta" yang dirasakan sang pengantin wanita mencerminkan kerinduan mendalam seorang percaya kepada hadirat Tuhan. Ketika Tuhan terasa jauh, ketika komunikasi rohani terasa berkurang, timbullah rasa hampa dan rindu yang mendalam, sebuah "sakit cinta" yang mendorong seseorang untuk mencari lebih lagi.

Ayat ini juga menekankan kekuatan komunikasi dalam hubungan. Sang pengantin wanita tidak hanya memendam kerinduannya, tetapi secara aktif berusaha menjangkau kekasihnya melalui perantaraan orang lain. Ini mengajarkan bahwa dalam hubungan, baik itu romantis, persahabatan, maupun spiritual, komunikasi adalah kunci. Pesan yang disampaikan melalui "puteri-puteri Yerusalem" adalah bukti bahwa cinta yang tulus tidak pasif. Ia mencari, ia mengungkapkan, dan ia berupaya untuk bersatu kembali.

Lebih jauh lagi, "sakit cinta" ini bisa menjadi katalisator pertumbuhan. Rasa rindu yang kuat dapat memotivasi seseorang untuk lebih tekun berdoa, merenungkan firman Tuhan, dan mencari cara-cara baru untuk mendekatkan diri pada Sang Ilahi. Ia mengingatkan kita bahwa cinta yang sesungguhnya tidak selalu mulus, terkadang ia melewati periode kerinduan dan pencarian yang intens. Namun, justru dalam pencarian itulah, pemahaman yang lebih dalam tentang arti cinta dan kesetiaan dapat tumbuh. Kidung Agung 5:7, dalam kesederhanaannya, menjadi pengingat akan esensi cinta yang tak lekang oleh waktu: sebuah perasaan yang begitu kuat hingga mampu menggerakkan jiwa dan menginspirasi tindakan.

Bayangkan betapa kuatnya cinta yang mampu membuat seseorang merasa "sakit" ketika terpisah dari yang terkasih. Pengalaman ini bersifat universal dan dapat ditemukan dalam berbagai bentuk hubungan. Namun, ketika diterjemahkan ke dalam konteks spiritual, ungkapan ini menjadi sangat kuat. Ini menunjukkan bahwa hubungan yang paling mendalam adalah yang didasarkan pada kerinduan hati yang tulus untuk bersatu dengan sumber kasih itu sendiri. Ayat ini menjadi sebuah undangan untuk merenungkan kedalaman cinta kita, baik kepada sesama maupun kepada Tuhan, dan untuk berani mengungkapkan kerinduan tersebut.