Lukas 22:71 - Apa yang Dikatakan Mereka?

"Bukankah kami sudah mendengar kesaksiannya sendiri?"
Ilustrasi simbol gereja

Ayat Alkitab Lukas 22:71, "Bukankah kami sudah mendengar kesaksiannya sendiri?" merupakan sebuah pernyataan retoris yang diucapkan oleh para pemimpin agama Yahudi pada masa itu, tepat setelah Yesus diadili dan disalahkan. Pernyataan ini muncul dalam konteks pengadilan Yesus yang penuh dengan manipulasi dan ketidakadilan. Para pemimpin agama, yang seharusnya menjadi penjaga hukum Taurat, justru telah merancang sebuah proses untuk menjatuhkan hukuman kepada Yesus, meskipun tidak ada bukti kesalahan yang kuat.

Dalam pasal 22 kitab Lukas, kita melihat bagaimana Yesus digiring ke pengadilan. Setelah ditangkap, Ia dibawa ke rumah Imam Besar Kayafas, di mana para tua-tua, imam-imam kepala, dan ahli-ahli Taurat berkumpul. Mereka mencari kesaksian palsu terhadap Yesus untuk dapat menghukum mati-Nya. Sayangnya, meskipun banyak saksi palsu yang diajukan, kesaksian mereka tidak sesuai satu sama lain. Situasi ini menunjukkan betapa tergesa-gesanya mereka dalam menjatuhkan hukuman, bahkan tanpa proses hukum yang adil.

Menjelang akhir dari bagian pengadilan informal ini, Imam Besar Kayafas sendiri yang bertanya kepada Yesus, "Apakah Engkau dikutuk Allah, Anak Yang Mahamulia?" Yesus menjawab, "Akulah Dia". Pernyataan inilah yang menjadi pemicu bagi para pemimpin agama untuk kemudian mengeluarkan kalimat yang tercatat dalam Lukas 22:71. Mereka merasa bahwa dengan pengakuan Yesus sendiri, mereka memiliki dasar yang cukup kuat untuk menuntut hukuman mati.

Namun, penting untuk dicatat bahwa pengakuan Yesus "Akulah Dia" yang diucapkan di hadapan Kayafas, tidaklah sama dengan kesaksian yang sah menurut hukum Taurat. Pengadilan yang sebenarnya membutuhkan dua atau tiga saksi yang bersaksi secara konsisten. Di sini, yang ada hanyalah tuduhan dari para pemimpin agama itu sendiri dan pengakuan Yesus yang diambil di luar konteks hukum.

Oleh karena itu, pertanyaan retoris "Bukankah kami sudah mendengar kesaksiannya sendiri?" ini bisa dipandang sebagai sebuah tindakan penipuan diri sendiri atau bahkan penghinaan terhadap keadilan. Mereka seolah-olah telah melakukan sebuah prosedur hukum, padahal yang mereka lakukan adalah pembenaran atas keputusan yang sudah mereka ambil sebelumnya. Ayat ini mengingatkan kita akan bahaya ketika otoritas disalahgunakan demi kepentingan pribadi atau ideologi sempit, mengabaikan kebenaran dan keadilan.

Di sisi lain, pengakuan Yesus yang berujung pada ayat ini juga menunjukkan keberanian dan kebenaran-Nya. Ia tidak menyangkal jati diri-Nya sebagai Anak Allah, meskipun tahu bahwa hal itu akan membawa-Nya pada penderitaan dan kematian. Ini adalah sebuah kesaksian iman yang luar biasa, yang meskipun ditolak oleh para pemimpin pada zamannya, terus bergema hingga kini sebagai inti dari iman Kristen. Ayat ini juga mengajak kita untuk merefleksikan bagaimana kita menanggapi kebenaran. Apakah kita seperti para pemimpin agama yang mencari-cari alasan untuk menolak, ataukah kita menerima kebenaran dengan hati yang terbuka?