Kitab Maleakhi, pasal 1 ayat 2, menghadirkan sebuah dialog yang mendalam antara Allah dan umat-Nya. Ayat ini bukan sekadar pengakuan kasih dari Tuhan, melainkan juga sebuah pertanyaan reflektif dari umat-Nya yang menunjukkan keraguan dan ketidakpahaman mereka terhadap kasih tersebut. "Aku mengasihi kamu," firman TUHAN. Pernyataan ini adalah pondasi fundamental dari seluruh hubungan antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya. Kasih Allah bukanlah sesuatu yang bersyarat, melainkan anugerah yang diberikan secara cuma-cuma, sebagaimana tertulis dalam banyak bagian Alkitab. Ia mengasihi tanpa memandang jasa atau kelayakan kita.
Namun, respons umat-Nya sungguh menyentuh hati: "Dalam hal apakah Engkau mengasihi kami?" Pertanyaan ini mencerminkan sebuah kekeringan rohani, sebuah ketidakmampuan untuk merasakan dan memahami kasih ilahi yang sebenarnya. Mungkin mereka sedang mengalami kesulitan, penderitaan, atau merasa diperlakukan tidak adil, sehingga kasih Allah terasa jauh dan tidak nyata bagi mereka. Dalam situasi seperti inilah, seringkali iman kita diuji, dan kita mulai mempertanyakan kebaikan dan kasih Tuhan.
Untuk menjawab keraguan mereka, Tuhan memberikan sebuah analogi yang sangat gamblang dan menggugah: "Bukankah Esau itu kakak Yakub? demikianlah firman TUHAN. Tetapi aku mengasihi Yakub." Perlu dipahami bahwa dalam tradisi bangsa Israel kuno, hak kesulungan (yang dimiliki Esau) membawa keuntungan dan kehormatan yang lebih besar. Namun, Tuhan secara tegas menyatakan bahwa pilihan-Nya jatuh pada Yakub, bukan karena keunggulan Yakub, melainkan murni karena kehendak dan kasih pilihan-Nya. Ini adalah ilustrasi tentang kedaulatan Allah dan sifat kasih pilihan-Nya yang tidak didasarkan pada perbuatan manusia, melainkan pada keputusan-Nya sendiri. Kasih ini adalah dasar dari rencana keselamatan-Nya yang lebih besar, yang pada akhirnya mengarah pada kedatangan Yesus Kristus.
Ayat Maleakhi 1:2 mengajak kita untuk merenungkan kembali tentang kasih Allah. Apakah kita, seperti umat di zaman Maleakhi, seringkali meragukan kasih-Nya ketika menghadapi tantangan? Apakah kita membatasi pemahaman kita tentang kasih Allah hanya pada berkat-berkat jasmani atau kemudahan hidup? Firman Tuhan ini mengingatkan kita bahwa kasih-Nya adalah kasih yang kekal, yang memilih dan memelihara kita bukan berdasarkan kebaikan kita, melainkan berdasarkan natur-Nya sendiri yang penuh kasih.
Menerima kasih Allah berarti membuka hati untuk menerima rencana-Nya, bahkan ketika itu tidak sesuai dengan keinginan atau pemahaman kita. Ini adalah undangan untuk percaya bahwa di balik setiap situasi, baik suka maupun duka, kasih Allah senantiasa menyertai dan bekerja untuk kebaikan kita, sebagaimana yang Ia nyatakan secara tegas melalui perkataan-Nya kepada umat-Nya di masa lalu.