Markus 10:3

"Maka jawab Yesus kepada mereka: "Bagaimana hukum Musa memerintahkan kepadamu?"

Kutipan dari Injil Markus pasal 10 ayat 3 ini sering kali menjadi titik awal percakapan mendalam mengenai prinsip-prinsip pernikahan yang diajarkan oleh Yesus. Dalam konteks ayat ini, Yesus sedang berdialog dengan orang-orang Farisi yang mencoba menjebak-Nya dengan pertanyaan mengenai perceraian. Yesus tidak langsung memberikan jawaban baru, melainkan mengarahkan mereka untuk merujuk pada hukum yang telah diberikan. Ini adalah sebuah strategi pengajaran yang cerdas, yang menekankan bahwa ajaran-Nya tidak bertentangan dengan kehendak Tuhan yang sesungguhnya, melainkan mengklarifikasi dan mengembalikan pada fondasi yang paling murni.

Fokus pada Markus 10:3 mengundang kita untuk merenungkan kembali makna hukum Musa terkait pernikahan. Hukum Musa, sebagaimana tercatat dalam Taurat, memang mengatur tentang perceraian, memberikan prosedur bagi seorang pria untuk menceraikan istrinya dengan surat cerai. Namun, tujuan Yesus adalah untuk menggali lebih dalam lagi dari sekadar tata cara. Ia ingin menunjukkan prinsip ilahi yang mendasari penetapan hukum tersebut, dan bagaimana prinsip itu seharusnya menuntun pemahaman dan praktik manusia.

Yesus kemudian melanjutkan percakapan ini dengan merujuk pada Kitab Kejadian (pasal 1 dan 2), yang menceritakan penciptaan manusia pertama, Adam dan Hawa, serta penetapan pernikahan sebagai kesatuan antara seorang pria dan seorang wanita. Pernikahan dalam pandangan Yesus bukanlah sekadar perjanjian sosial yang bisa dibatalkan semudah membalikkan telapak tangan. Sebaliknya, pernikahan adalah lembaga ilahi yang ditetapkan sejak awal penciptaan, sebuah kesatuan jiwa dan raga yang intim, yang diciptakan oleh Tuhan sendiri. "Karena itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, dan keduanya akan menjadi satu daging." (Markus 10:7-8).

Penting untuk memahami bahwa pertanyaan orang Farisi tentang perceraian muncul dari sudut pandang legalistis dan budaya mereka saat itu, yang cenderung memberikan kelonggaran bagi pria untuk menceraikan istri mereka dengan alasan yang beragam. Yesus, melalui tanggapan-Nya yang merujuk pada hukum Musa dan kemudian pada permulaan penciptaan, sedang mengembalikan pernikahan pada desain aslinya: sebuah ikatan yang kudus, monogami, dan bersifat permanen. Tujuannya adalah untuk menegakkan standar yang lebih tinggi, sebuah kasih yang tak terbatas dan komitmen yang mendalam, sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.

Dalam konteks kekinian, pemahaman dari Markus 10:3 dan kelanjutannya tetap relevan. Ajaran Yesus mengingatkan kita bahwa pernikahan seharusnya dibangun di atas dasar kasih, kesetiaan, dan komitmen yang kokoh. Ketika pasangan suami istri merujuk pada prinsip-prinsip ini, mereka tidak hanya sekadar mengikuti aturan, tetapi berusaha meneladani desain ilahi bagi hubungan mereka. Ini adalah undangan untuk terus menerus memperkuat ikatan pernikahan, bukan hanya dalam menghadapi kesulitan, tetapi juga dalam merayakan kebersamaan, agar pernikahan menjadi cerminan kasih Tuhan yang tak berkesudahan.