Matius 26:65 - Yesus Dinyatakan Bersalah

"Maka Imam Besar itu mengoyakkan pakaiannya dan berkata: ‘Ia menghujat Allah! Untuk apa kita perlu saksi lagi? Kamu sekalian baru saja mendengar hujatannya."
Kejadian Paling Penting dalam Sejarah Sebuah Momen Penentuan Iman
Simbolisasi keagungan dan momen krusial.

Perikop Matius 26:65 menggambarkan salah satu momen paling dramatis dan menentukan dalam kisah sengsara Yesus Kristus. Setelah melalui serangkaian pengadilan yang cacat dan penuh ketidakadilan, termasuk di hadapan Mahkamah Agama Yahudi (Sanhedrin), Imam Besar Kayafas mengeluarkan pernyataan yang sangat berat. Dalam kefrustrasian dan mungkin kemarahan yang diliputi agenda politik dan agama, Kayafas mengoyakkan jubahnya, sebuah tindakan yang pada masa itu melambangkan kesedihan mendalam atau kemarahan atas penghinaan terhadap Taurat atau Allah.

Pernyataan Kayafas, "Ia menghujat Allah!", adalah tuduhan paling serius yang bisa dialamatkan kepada seseorang dalam konteks keagamaan Yahudi. Penghujatan terhadap Allah adalah kejahatan yang setara dengan pemberontakan terhadap otoritas ilahi, dan hukuman yang tertera dalam hukum Taurat adalah hukuman mati. Dengan tuduhan ini, Kayafas berusaha untuk menggerakkan sidang dan massa untuk segera menghukum Yesus tanpa perlu pembuktian lebih lanjut. Ia merasa bahwa pernyataan Yesus sendiri, ketika ditanyai apakah Ia adalah Anak Allah, sudah cukup menjadi bukti yang memberatkan.

Ayat ini menyoroti kontras yang mencolok antara kebenaran dan kepalsuan. Di satu sisi, Yesus, yang secara hakiki adalah Anak Allah, berdiri di hadapan para pemimpin agama yang seharusnya menjadi penjaga kebenaran. Namun, mereka justru menutup mata terhadap kebenaran ilahi yang ada di depan mereka, dan sebaliknya, menggunakan tuduhan palsu untuk mencapai tujuan mereka. Pengoyakan jubah oleh Kayafas lebih merupakan sebuah drama yang dipentaskan untuk meyakinkan para pendengarnya tentang keseriusan "penghujatan" yang dituduhkan, bukan ekspresi kesedihan yang tulus atas pelanggaran ilahi.

Peristiwa ini juga menunjukkan betapa teguhnya Yesus dalam menyatakan identitas-Nya, meskipun hal itu membawa konsekuensi yang mengerikan bagi diri-Nya. Ia tidak menarik kembali perkataan-Nya atau berusaha membela diri dengan cara-cara duniawi. Ia menerima dengan tenang apa yang akan terjadi, mengetahui bahwa ini adalah bagian dari rencana ilahi yang lebih besar untuk penebusan umat manusia. Para pemimpin agama pada saat itu, dalam kebutaan spiritual mereka, tidak mampu melihat bahwa justru pengakuan Yesus sebagai Anak Allah inilah yang merupakan kebenaran, bukan penghujatan.

Matius 26:65 bukan sekadar catatan historis tentang sebuah pengadilan yang tidak adil, tetapi juga sebuah pengingat abadi tentang harga yang harus dibayar untuk kebenaran dan iman. Ini adalah momen di mana otoritas manusia yang korup mencoba untuk membungkam otoritas ilahi, namun pada akhirnya, kebenaran ilahi akan selalu menang. Kisah ini mengajarkan kepada kita tentang pentingnya berpegang teguh pada iman, bahkan di tengah tekanan dan tuduhan yang tidak adil, serta untuk selalu memeriksa hati kita agar tidak dibutakan oleh prasangka atau agenda pribadi ketika berhadapan dengan kebenaran.