Mazmur 109:23

"Aku menyusut seperti bayang-bayang di kala senja, aku dihalau seperti belalang."

Ikon Matahari Senja dan Bayangan Memanjang

Mazmur 109:23 menyajikan sebuah gambaran yang kuat tentang kerapuhan dan ketidakberdayaan seseorang yang sedang mengalami penderitaan berat. Ayat ini, "Aku menyusut seperti bayang-bayang di kala senja, aku dihalau seperti belalang," membangkitkan citra visual yang mendalam tentang bagaimana keadaan seseorang dapat berubah drastis ketika ia terperosok dalam kesulitan, baik secara fisik maupun emosional.

Frasa "menyusut seperti bayang-bayang di kala senja" menggambarkan penurunan yang gradual namun pasti. Saat matahari terbenam, bayangan memanjang dan semakin tipis, seolah-olah keberadaannya menjadi samar. Demikian pula, ketika seseorang dilanda kesusahan, kekuatan, semangat, dan bahkan jati dirinya seolah terkikis perlahan. Hal ini bisa disebabkan oleh tekanan mental yang luar biasa, isolasi sosial, atau penderitaan fisik yang menguras energi. Bayangan senja mengingatkan kita pada sesuatu yang sebelumnya solid, kini mulai menghilang tanpa bekas. Kehidupan yang tadinya penuh warna bisa menjadi abu-abu, dan individu yang tadinya tampak kuat bisa merasa dirinya semakin kecil dan tidak berarti.

Selanjutnya, perbandingan dengan "dihalau seperti belalang" menambahkan lapisan keputusasaan yang lebih aktif. Belalang adalah serangga yang sering kali bergerak dalam kelompok besar dan dapat menjadi hama yang merusak. Namun, ketika mereka dihalau, mereka tercerai-berai dan mudah dikalahkan. Dalam konteks ini, subjek mazmur merasa seperti dirinya terdorong ke sana kemari tanpa tujuan, tidak memiliki kekuatan untuk menahan atau melawan. Ini bisa berarti menghadapi pengusiran dari rumah, kehilangan pekerjaan, penolakan sosial, atau sekadar perasaan tidak memiliki kendali atas hidupnya sendiri. Perasaan menjadi sasaran empuk, mudah ditaklukkan, dan tidak memiliki tempat untuk berlindung adalah gambaran yang sangat menyakitkan.

Dalam konteks yang lebih luas dari Kitab Mazmur, ayat ini sering kali diucapkan oleh Daud dalam situasi di mana ia merasa dikhianati, difitnah, dan dianiaya oleh musuh-musuhnya. Ia bukan hanya bergulat dengan penderitaan pribadi, tetapi juga dengan rasa ketidakadilan yang mendalam. Penggambaran ini menjadi bentuk ekspresi dari kesengsaraan yang ia rasakan, sebuah ratapan yang disampaikan kepada Tuhan. Meskipun gambaran ini tampak suram, ada harapan tersirat di baliknya. Dengan menyatakan penderitaannya secara gamblang, pemazmur sedang membawa beban beratnya kepada sumber pertolongan yang ia yakini, yaitu Tuhan Yang Mahakuasa. Permohonan agar Tuhan campur tangan dan membalas kejahatan para penganiaya sering kali menyertai ungkapan keputusasaan semacam ini.

Bagi pembaca modern, Mazmur 109:23 dapat memberikan penghiburan dan pemahaman. Ketika kita sendiri mengalami masa-masa sulit yang membuat kita merasa menyusut dan tak berdaya, ayat ini mengingatkan bahwa kita tidak sendirian dalam perasaan tersebut. Banyak orang sepanjang sejarah telah merasakan kepedihan yang sama. Lebih penting lagi, ayat ini mendorong kita untuk tidak menyerah pada keputusasaan. Seperti pemazmur, kita dipanggil untuk membawa pergumulan kita ke hadapan Tuhan, mempercayai bahwa Ia adalah sumber kekuatan dan keadilan. Meskipun kita mungkin merasa seperti bayangan di senja hari, Tuhan dapat memulihkan kita dan memberi kita kembali identitas serta kekuatan yang telah hilang. Melalui doa dan iman, kita dapat menemukan bahwa "penyusutan" ini bukanlah akhir, melainkan bagian dari proses pemurnian dan penantian pertolongan ilahi yang pasti akan datang. Jika Anda sedang menghadapi masa sulit, jangan ragu untuk mencari dukungan dari sesama atau berbicara dengan pemuka agama untuk mendapatkan bimbingan lebih lanjut.