Mazmur 119 adalah pasal terpanjang dalam Alkitab, sebuah ode yang luar biasa untuk Taurat Tuhan. Di tengah-tengah 176 ayatnya, ayat ke-43 menyoroti inti dari hubungan yang mendalam dengan Sang Pencipta: permintaan tulus agar kebenaran firman Tuhan tidak pernah terlepas dari kehidupan dan ucapan kita. Penulis Mazmur, Daud, mengungkapkan kerinduan yang mendalam untuk selalu hidup dalam kebenaran Ilahi, bukan karena kewajiban semata, tetapi karena penyerahan diri yang penuh keyakinan pada hukum-hukum Tuhan.
Permohonan "Janganlah Engkau sama sekali mengambil firman kebenaran dari mulutku" bukanlah tanda ketidakpercayaan, melainkan pengakuan akan kerapuhan manusia dan kebutuhan mutlak akan campur tangan ilahi. Dalam dunia yang penuh dengan godaan dan kebohongan, menjaga kesucian perkataan dan pemikiran adalah sebuah perjuangan. Penulis Mazmur menyadari bahwa tanpa anugerah dan kekuatan Tuhan, ucapan-ucapannya bisa saja menyimpang dari kebenaran, membawa kesalahpahaman atau bahkan kesesatan. Oleh karena itu, ia berseru kepada Tuhan, memohon agar firman kebenaran terus mengalir dari bibirnya, menjadi sumber kebijaksanaan dan integritas dalam setiap perkataannya.
Bagian kedua dari ayat ini, "sebab aku berharap kepada hukum-hukum-Mu," memberikan konteks yang krusial. Kebenaran yang diinginkan penulis Mazmur bukan berasal dari usaha manusia semata, melainkan tumbuh dari fondasi harapan yang teguh pada ketetapan Tuhan. Hukum-hukum Tuhan, atau Taurat, dipandang bukan sebagai beban, melainkan sebagai petunjuk jalan yang penuh kasih, sumber kehidupan, dan jaminan keadilan. Harapan ini membebaskan dari keputusasaan dan memberikan kekuatan untuk terus berpegang pada prinsip-prinsip Ilahi, bahkan ketika menghadapi kesulitan atau godaan.
Penulis Mazmur melihat hukum-hukum Tuhan sebagai peta yang memandu langkahnya, janji yang menguatkan jiwanya, dan kebenaran yang mencerahkan akal budinya. Harapan ini menjadi jangkar di tengah badai kehidupan, mengingatkan bahwa Tuhan yang telah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah setia dan adil. Dengan harapan ini, ia dapat menghadapi tantangan, mengalahkan kebohongan, dan memperjuangkan kebenaran, bukan dengan kekuatan sendiri, melainkan dengan keyakinan pada kesetiaan Tuhan.
Di era informasi yang serba cepat ini, di mana kebenaran seringkali terdistorsi dan opini pribadi seringkali lebih diutamakan daripada fakta, Mazmur 119:43 menjadi pengingat yang relevan. Kita dipanggil untuk tidak hanya mendengar firman Tuhan, tetapi juga menjadikannya sebagai pedoman dalam setiap perkataan kita. Ini berarti berbicara dengan kejujuran, kebaikan, dan kebijaksanaan. Ini berarti menolak untuk menyebarkan fitnah atau informasi yang salah. Ini berarti mengutamakan firman Tuhan di atas tren atau pandangan dunia yang sementara.
Lebih jauh lagi, ayat ini mendorong kita untuk menumbuhkan harapan yang kokoh dalam hukum-hukum Tuhan. Dalam ketidakpastian, kekhawatiran, dan tantangan hidup, bergantung pada janji-janji Tuhan dan prinsip-prinsip-Nya adalah sumber kekuatan yang tak ternilai. Ketika kita berharap pada firman-Nya, hidup kita akan dipenuhi dengan kebenaran, integritas, dan kedamaian batin, mencerminkan kasih dan hikmat Tuhan kepada dunia di sekitar kita.