"Celakalah aku! Karena seperti orang memetik buah di musim panas, seperti orang memungut buah anggur di musim pemetikan, tidak ada setandan buah anggur untuk dimakan, tidak ada buah pertama kesukaan hatiku."
Kitab Mikha, sebuah kitab kenabian dalam Perjanjian Lama, menyajikan gambaran yang tajam dan seringkali menyakitkan mengenai kondisi umat Allah. Ayat pembuka dalam pasal ketujuh, Mikha 7:1, langsung menarik perhatian kita dengan seruan kesedihan yang mendalam. Nabi Mikha mengungkapkan perasaan kehancuran dan kekecewaan yang luar biasa, membandingkannya dengan situasi yang seharusnya menghasilkan kelimpahan, namun justru berujung pada kekosongan. Ia merasakan seperti musim panen yang seharusnya penuh sukacita, namun dihadapkan pada ketiadaan buah anggur yang berharga, kesukaan hati yang dinanti.
Frasa "celakalah aku!" bukanlah sekadar ungkapan penyesalan biasa. Ini adalah ratapan jiwa yang merasakan dampak dari dosa dan ketidakadilan yang merajalela di sekelilingnya. Dalam konteks sejarah, bangsa Israel sedang menghadapi masa-masa sulit, di mana kebenaran tertindas dan kebejatan moral semakin mengakar. Korupsi, penindasan terhadap yang lemah, dan penyimpangan dari hukum Allah telah merusak tatanan sosial dan spiritual mereka. Keadaan ini menimbulkan kesedihan mendalam bagi Mikha, yang melihat kehancuran moral sebagai ancaman eksistensial bagi umat Allah.
Perumpamaan tentang musim panen yang gagal menggambarkan betapa dalamnya kekecewaan tersebut. Musim panen adalah waktu harapan dan hasil kerja keras. Buah anggur yang pertama kali muncul adalah lambang berkat dan kelimpahan yang dijanjikan Allah. Namun, dalam gambaran Mikha, semua itu lenyap. Tidak ada yang tersisa untuk dinikmati, tidak ada janji masa depan yang cerah berdasarkan apa yang terlihat. Situasi ini mencerminkan ketidakberdayaan dan keputusasaan yang dialami oleh orang-orang benar di tengah lingkungan yang rusak.
Mikha 7:1 bukan hanya tentang kegagalan panen secara fisik, tetapi juga tentang kegagalan spiritual dan moral sebuah bangsa. Ia meratapi hilangnya nilai-nilai luhur, runtuhnya integritas, dan lenyapnya keadilan. Ketika fondasi moral sebuah masyarakat terkikis, hasil yang bisa diharapkan adalah kekacauan dan kehancuran, bukan kelimpahan berkat. Ayat ini mengingatkan kita bahwa tindakan dan keputusan kolektif sebuah bangsa memiliki konsekuensi yang nyata, baik positif maupun negatif.
Meskipun ayat ini diawali dengan nada kesedihan dan keputusasaan, penting untuk melihatnya dalam konteks keseluruhan kitab Mikha. Kitab ini, di balik gambaran kegelapan, menyimpan percikan harapan yang kuat. Setelah meratapi kondisi yang parah, Mikha kemudian beralih untuk berbicara tentang pengharapan akan pemulihan ilahi, kedatangan Mesias, dan keadilan yang akhirnya akan ditegakkan. Mikha 7:1 berfungsi sebagai titik awal yang krusial, menunjukkan betapa parahnya kerusakan yang terjadi, sehingga pemulihan dari Allah menjadi semakin dibutuhkan dan ajaib. Ayat ini mengajak kita untuk merenungkan arti keadilan, moralitas, dan harapan dalam menghadapi tantangan dunia yang kompleks.