"Apa yang telah menjadi yang lama, telah ada dahulu; apa yang akan terjadi, telah lama ada; dan Allah memanggil kembali apa yang telah berlalu."
Ayat Pengkhotbah 1:15 menghadirkan sebuah refleksi mendalam mengenai sifat siklus kehidupan dan keterbatasan usaha manusia dalam menciptakan sesuatu yang benar-benar baru. Pengkhotbah, yang dikenal dengan kebijaksanaannya yang tajam, merenungkan pengalaman hidupnya yang luas dan sampai pada kesimpulan yang seringkali terasa agak pesimis, namun tetap bernilai. Ia menekankan bahwa "apa yang telah menjadi yang lama, telah ada dahulu; apa yang akan terjadi, telah lama ada." Pernyataan ini menyiratkan bahwa banyak hal yang kita anggap baru atau inovatif sebenarnya adalah pengulangan atau variasi dari apa yang sudah pernah ada sebelumnya. Sejarah, tren, bahkan ide-ide brilian seringkali memiliki akar dalam masa lalu.
Renungan ini mengajak kita untuk melihat dunia dengan kacamata yang berbeda. Ketika kita merasa bangga dengan pencapaian atau penemuan kita, Pengkhotbah mengingatkan bahwa kemungkinan besar hal serupa telah diupayakan atau bahkan dicapai oleh generasi sebelumnya. Ini bukan untuk mengecilkan semangat inovasi, melainkan untuk menempatkannya dalam perspektif yang lebih luas. Segala sesuatu memiliki pola, siklus, dan keteraturan yang telah ditetapkan. Keinginan manusia untuk menciptakan sesuatu yang "belum pernah ada" mungkin adalah sebuah ilusi, atau setidaknya sebuah tantangan yang sangat sulit untuk dipenuhi dalam arti harfiah.
Lebih lanjut, Pengkhotbah menambahkan, "dan Allah memanggil kembali apa yang telah berlalu." Frasa ini menambah lapisan makna spiritual pada renungan tersebut. Ini menunjukkan bahwa segala sesuatu, baik yang baru maupun yang lama, berada di bawah kendali ilahi. Apa yang tampak sebagai pengulangan atau siklus alamiah sesungguhnya adalah bagian dari rencana yang lebih besar yang diatur oleh Pencipta. Allah tidak hanya menciptakan segala sesuatu, tetapi juga mengawasi dan memeliharanya, membawa kembali apa yang telah berlalu ke dalam arus eksistensi. Ini bisa diartikan sebagai pertanggungjawaban, pengingat akan kedaulatan-Nya, atau bahkan pemulihan yang pada akhirnya akan terjadi.
Dalam konteks modern, ayat ini dapat menjadi pengingat akan pentingnya belajar dari sejarah, menghargai kebijaksanaan masa lalu, dan tidak terlalu terobsesi dengan kebaruan semata. Usaha manusia, meskipun penting, memiliki keterbatasan. Upaya untuk "meluruskan" apa yang bengkok, seperti yang disebut di bagian lain dari kitab Pengkhotbah, seringkali sia-sia karena tatanan alamiah dan ilahi lebih kuat dari upaya individu. Memahami keterbatasan ini tidak berarti menyerah pada keputusasaan, melainkan menemukan kedamaian dalam menerima keteraturan yang ada dan mencari makna dalam menjalani kehidupan sesuai dengan kehendak-Nya. Pengkhotbah 1:15 mengajarkan kerendahan hati intelektual dan spiritual, mendorong kita untuk bersandar pada kebijaksanaan yang lebih besar daripada diri kita sendiri.