Ratapan 5:17

"Oleh sebab itu hatipun menjadi sakit, oleh sebab itu matapun menjadi buram, karena gunung Sion yang terbiar, tempat serigala merayap padanya."

Ayat dari Kitab Ratapan pasal 5 ayat 17 ini membawa kita pada sebuah gambaran yang pilu, sebuah ratapan yang mendalam atas kehancuran dan keterpurukan yang dialami. Kalimat pembuka yang kuat, "Oleh sebab itu hatipun menjadi sakit, oleh sebab itu matapun menjadi buram," langsung membangkitkan rasa empati. Ini bukan sekadar ungkapan kekecewaan biasa, melainkan rasa sakit yang menusuk hingga ke relung hati, sebuah kepedihan yang membuat pandangan hidup menjadi kabur, seolah dunia kehilangan cahayanya. Perasaan ini lahir dari menyaksikan sebuah tempat yang seharusnya menjadi sumber sukacita dan perlindungan, kini hancur lebur.

Sisa Reruntuhan Kota Zion
Ilustrasi visual yang menggambarkan kesedihan dan kehancuran.

Frasa "karena gunung Sion yang terbiar" menjadi inti dari ratapan ini. Gunung Sion, yang dalam tradisi Yahudi identik dengan Yerusalem, Bait Allah, dan kehadiran ilahi, kini digambarkan sebagai tempat yang terbiar. Terbiar berarti ditinggalkan, tidak terawat, bahkan mungkin dalam kondisi rusak dan tidak aman. Bayangkan sebuah kota suci, pusat kehidupan rohani, kini sunyi senyap, ditinggalkan oleh penghuninya, tanpa ibadah, tanpa kemegahan. Ini adalah gambaran kehancuran yang paling menyakitkan bagi umat yang menjadikan Sion sebagai simbol harapan mereka.

Penegasan kehancuran semakin kuat dengan ungkapan "tempat serigala merayap padanya." Serigala adalah hewan liar, simbol ancaman, keganasan, dan kehancuran. Penggambaran serigala merayap di tempat yang seharusnya penuh kehidupan dan keamanan menunjukkan betapa dalam dan totalnya kehancuran itu. Tempat yang seharusnya menjadi rumah bagi umat pilihan Tuhan kini telah dikuasai oleh kekuatan liar dan destruktif. Ini adalah cerminan dari situasi di mana tatanan sosial, spiritual, dan fisik telah runtuh. Kehidupan normal telah digantikan oleh ketakutan dan kekacauan.

Lebih dari sekadar deskripsi fisik, ayat ini juga mencerminkan kondisi batiniah yang terpengaruh oleh keadaan eksternal. Sakit hati dan buramnya pandangan adalah manifestasi dari trauma kolektif. Ketika fondasi kehidupan dihancurkan, ketika tempat yang dianggap suci dan aman menjadi sarang bahaya, maka seluruh eksistensi terasa terancam. Ratapan 5:17 menangkap esensi dari perasaan putus asa yang mendalam, namun di balik kepedihan itu, tersirat pula sebuah pengingat akan pentingnya identitas dan sejarah yang terukir pada Gunung Sion. Meskipun kini terbiar dan dipenuhi ancaman, Sion tetap merupakan simbol yang memiliki makna mendalam. Kehancuran yang digambarkan dalam ayat ini mendorong refleksi tentang kerapuhan peradaban, konsekuensi dari dosa atau ketidaktaatan, dan sekaligus, harapan akan pemulihan, meskipun pemulihan itu mungkin terlihat jauh di mata.

Dalam konteks yang lebih luas, ayat ini dapat menjadi pengingat bagi kita untuk senantiasa menjaga dan menghargai tempat-tempat yang memiliki nilai spiritual dan historis, serta untuk tidak pernah meremehkan dampak kehancuran yang dapat menimpa peradaban. Keadaan terbiar dan kehadiran ancaman seperti serigala di tempat yang suci adalah sebuah peringatan keras tentang pentingnya menjaga keutuhan dan kemurnian.