"Carilah di antara kamu orang-orang yang bijak, berakal budi, dan berpengalaman dari suku-sukumu, supaya aku mengangkat mereka menjadi pemimpin atas kamu."
Simbol kebijaksanaan dan kepemimpinan.
Ayat dari Kitab Ulangan ini, tepatnya Ulangan 1:13, memberikan sebuah instruksi yang sangat mendasar mengenai bagaimana sebuah komunitas atau bangsa seharusnya memilih pemimpinnya. Musa, yang pada saat itu sedang mempersiapkan bangsa Israel untuk memasuki tanah perjanjian, menyadari pentingnya struktur kepemimpinan yang kuat dan efektif. Ia tidak sembarangan memilih orang untuk memegang tanggung jawab besar tersebut. Sebaliknya, ia menekankan tiga kriteria utama: kebijaksanaan, akal budi, dan pengalaman. Ketiga aspek ini saling melengkapi dan menjadi fondasi penting bagi siapapun yang dipercaya untuk memimpin.
Kebijaksanaan (wisdom) mengacu pada kemampuan untuk melihat kebenaran, memahami situasi secara mendalam, dan membuat keputusan yang tepat berdasarkan prinsip-prinsip yang benar. Ini bukan sekadar pengetahuan, tetapi kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan tersebut dengan cara yang benar dan bermanfaat. Orang yang bijak mampu melihat gambaran besar, mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang, dan bertindak dengan keadilan serta integritas.
Selanjutnya, akal budi (understanding/intelligence) merujuk pada kemampuan kognitif, kecerdasan, dan pemahaman yang baik. Ini adalah kapasitas untuk belajar, memecahkan masalah, dan menalar secara logis. Pemimpin yang berakal budi dapat menganalisis informasi yang kompleks, mengidentifikasi akar permasalahan, dan merumuskan solusi yang efektif. Kombinasi kebijaksanaan dan akal budi memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak hanya benar secara moral tetapi juga cerdas secara strategis.
Kriteria ketiga yang disebutkan adalah pengalaman. Pengalaman hidup dan pengalaman dalam memimpin atau mengelola berbagai situasi adalah guru yang tak ternilai. Seseorang yang telah melalui berbagai tantangan, menghadapi kegagalan, dan meraih kesuksesan, akan memiliki pemahaman praktis yang mendalam tentang bagaimana menjalankan tugas. Pengalaman mengajarkan pelajaran yang seringkali tidak bisa didapatkan dari buku atau teori semata. Pemimpin yang berpengalaman cenderung lebih berhati-hati, lebih realistis dalam menetapkan tujuan, dan lebih siap menghadapi rintangan tak terduga. Mereka telah belajar dari masa lalu, baik dari keberhasilan maupun kesalahan, dan menggunakan pembelajaran itu untuk memandu tindakan mereka di masa depan.
Musa memerintahkan agar para pemimpin ini dicari dari "suku-sukumu". Ini menunjukkan pentingnya representasi dan pemahaman terhadap kebutuhan spesifik dari setiap kelompok dalam masyarakat. Pemimpin yang berasal dari suku atau kelompok tertentu seringkali lebih memahami budaya, tantangan, dan aspirasi komunitasnya. Ini memfasilitasi komunikasi yang lebih baik dan memastikan bahwa kebijakan yang dibuat benar-benar relevan dan dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, pemilihan pemimpin menjadi sebuah proses yang inklusif dan mempertimbangkan beragam perspektif.
Pesan dalam Ulangan 1:13 tetap relevan hingga kini. Dalam konteks modern, ini mengingatkan kita untuk tidak hanya terpukau oleh karisma atau popularitas semata, tetapi juga untuk meneliti rekam jejak, integritas, kemampuan analitis, dan pengalaman praktis dari para calon pemimpin kita. Kepemimpinan yang efektif, yang membawa kemajuan dan kesejahteraan, adalah hasil dari pemilihan yang cermat berdasarkan kriteria yang solid, seperti yang diajarkan dalam ayat ini. Mencari pemimpin yang bijak, berakal budi, dan berpengalaman adalah investasi jangka panjang bagi masa depan sebuah bangsa dan komunitas.