"Sekarang, utuslah orang dari padang gurun ke padang gurun, ke Sihon, raja Hesybon, dengan kata-kata damai untuk mengatakan:
Ayat Ulangan 2:26 merupakan bagian dari narasi besar tentang perjalanan bangsa Israel di padang gurun setelah keluar dari Mesir. Perjalanan ini dipenuhi dengan berbagai tantangan, baik dari alam maupun dari bangsa-bangsa lain yang mendiami tanah Kanaan dan sekitarnya. Dalam konteks ini, Tuhan memerintahkan Musa untuk mengirim utusan kepada Sihon, raja Hesybon, sebuah kerajaan Amori. Tujuannya adalah untuk menyampaikan permintaan izin lewat tanah mereka secara damai. Ini menunjukkan sebuah strategi diplomatik yang bijaksana, di mana bangsa Israel berupaya menghindari konflik yang tidak perlu.
Permintaan yang disampaikan adalah "kata-kata damai". Ini menyiratkan sebuah niat baik dan penghormatan terhadap kedaulatan wilayah Sihon. Bangsa Israel tidak datang dengan niat untuk menyerang atau merebut wilayah mereka, melainkan hanya meminta hak untuk melintas. Penawaran untuk membayar makanan dan minuman juga menunjukkan itikad baik dan keinginan untuk membangun hubungan yang baik, bukan sebagai tamu tak diundang yang hanya mengambil. Ini adalah prinsip yang penting: ketika kita membutuhkan akses atau bantuan dari orang lain, sikap hormat, komunikasi yang jelas, dan tawaran timbal balik dapat membuka pintu yang mungkin tertutup.
Namun, meskipun niatnya damai, sejarah mencatat bahwa Sihon menolak permintaan ini dan justru mengumpulkan pasukannya untuk melawan bangsa Israel. Hal ini menggarisbawahi bahwa niat baik saja tidak selalu cukup untuk mencegah konflik. Terkadang, ketakutan, kesombongan, atau kepentingan pribadi pihak lain dapat menghalangi tercapainya perdamaian. Meskipun demikian, strategi yang dijalankan oleh Musa, sesuai perintah Tuhan, adalah langkah yang benar. Ia telah berusaha menempuh jalur damai terlebih dahulu.
Kisah ini mengajarkan beberapa pelajaran penting bagi kita. Pertama, pentingnya komunikasi yang terbuka dan jujur. Mengirim utusan dengan pesan damai adalah tindakan proaktif untuk menghindari kesalahpahaman dan permusuhan. Kedua, sikap hormat terhadap hak milik dan wilayah orang lain. Permintaan izin adalah bentuk pengakuan atas kedaulatan mereka. Ketiga, bersiaplah menghadapi kemungkinan penolakan, bahkan ketika niat kita murni. Tidak semua orang akan merespons kebaikan dengan kebaikan yang sama. Namun demikian, memulai dengan pendekatan damai adalah prinsip yang patut dijunjung tinggi.
Kebaikan kasih Bapa Surgawi terwujud dalam arahan-Nya kepada umat-Nya. Bahkan dalam situasi yang berpotensi menimbulkan konflik, Tuhan mengarahkan umat-Nya untuk mencari jalan damai. Ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menghendaki pertumpahan darah yang tidak perlu. Ia menghargai kebijaksanaan, diplomasi, dan hubungan yang harmonis. Dengan meneladani cara Tuhan dalam memimpin bangsa Israel, kita belajar untuk lebih mengutamakan dialog, pengertian, dan mencari solusi bersama sebelum mengambil langkah-langkah yang bersifat konfrontatif. Ulangan 2:26 menjadi pengingat bahwa damai adalah tujuan yang patut diperjuangkan, meskipun jalannya mungkin tidak selalu mulus.