"Tetapi pada hari ketujuh ialah Sabat, hari peristirahatan bagi TUHAN, Allahmu; maka janganlah melakukan sesuatu pekerjaan pada hari itu, baik engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau lembumu, atau hewanmu, atau orang asing yang ada di tempat kediamanmu."
Ayat Ulangan 5:14 merupakan pengingat penting dari Sepuluh Perintah Allah yang disampaikan kembali kepada bangsa Israel sebelum mereka memasuki Tanah Perjanjian. Perintah mengenai hari Sabat ini bukan sekadar aturan tanpa makna, melainkan sebuah prinsip ilahi yang sarat akan nilai teologis dan sosial. Frasa "hari ketujuh ialah Sabat, hari peristirahatan bagi TUHAN, Allahmu" menekankan dua aspek utama: penetapan waktu khusus untuk beristirahat dan pengakuan terhadap kedaulatan Allah sebagai Pencipta.
Perintah untuk beristirahat pada hari ketujuh berakar dari kisah penciptaan di Kitab Kejadian. Setelah enam hari menciptakan langit, bumi, dan segala isinya, Allah beristirahat pada hari ketujuh. Perintah Sabat mengingatkan umat-Nya untuk meneladani pola ilahi ini. Ini adalah pengakuan bahwa kehidupan manusia bukanlah sekadar siklus kerja tanpa henti, melainkan harus diimbangi dengan waktu untuk pemulihan, refleksi, dan penyerahan diri kepada Sang Pencipta. Peristirahatan ini bukan kemalasan, melainkan sebuah tindakan ketaatan yang menunjukkan kepercayaan bahwa Allah yang memelihara kehidupan, bukan semata-mata upaya manusia.
Lebih jauh, perintah ini juga meluas kepada seluruh anggota rumah tangga, termasuk budak, hewan, dan bahkan orang asing yang tinggal bersama mereka. Hal ini menunjukkan bahwa konsep Sabat memiliki dimensi etis dan kemanusiaan yang kuat. Di tengah masyarakat yang seringkali menindas yang lemah, perintah Sabat menjadi pengaman sosial, memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang status, berhak atas waktu istirahat dan pemulihan. Hal ini menyoroti keadilan ilahi yang peduli pada kesejahteraan semua makhluk.
Meskipun konteks sosial dan budaya telah berubah secara drastis sejak zaman Musa, prinsip inti dari perintah Sabat tetap relevan. Dalam kesibukan hidup modern yang seringkali dipenuhi tuntutan kerja dan konsumsi, kemampuan untuk berhenti sejenak menjadi semakin krusial. Hari Sabat, atau hari istirahat mingguan yang diakui oleh banyak tradisi keagamaan, dapat menjadi kesempatan untuk melepaskan diri dari rutinitas yang melelahkan, memulihkan energi fisik dan mental, serta memperkuat hubungan dengan keluarga dan komunitas.
Penerapan Ulangan 5:14 juga mengajarkan kita untuk lebih peka terhadap kebutuhan orang lain. Dengan memberikan waktu istirahat yang layak bagi diri sendiri dan mereka yang berada di bawah tanggung jawab kita, kita mencerminkan nilai kasih dan keadilan yang diajarkan dalam firman Tuhan. Hari Sabat bukan hanya tentang tidak bekerja, tetapi lebih kepada bagaimana kita menggunakan waktu tersebut untuk hal-hal yang membangun, memperkaya jiwa, dan menyegarkan roh. Mengingat kembali perintah ini dapat membantu kita menemukan keseimbangan yang lebih sehat dalam kehidupan pribadi dan sosial kita.