"Dan Aku telah memberikan waktu kepadanya untuk bertobat, tetapi ia tidak mau bertobat dari percabulannya."
Ayat Wahyu 2:21 merupakan bagian dari pesan Kristus kepada jemaat di Tiatira, sebuah kota yang dikenal dengan guild-guildnya yang memiliki praktik-praktik penyembahan berhala dan imoralitas. Pesan ini mengandung peringatan keras sekaligus kesempatan terakhir untuk sebuah pertobatan yang tulus.
Dalam konteks ini, Kristus menyatakan rasa kecewa-Nya terhadap sebagian dari jemaat Tiatira yang telah membiarkan diri mereka terlibat dalam "percabulan" dan makan "persembahan berhala." Istilah "percabulan" di sini tidak hanya merujuk pada tindakan seksual di luar nikah, tetapi juga bisa melambangkan kesetiaan yang beralih dari Kristus kepada entitas atau ajaran lain yang menyesatkan. Demikian pula, makan persembahan berhala menunjukkan keterlibatan dalam praktik-praktik kafir yang bertentangan dengan iman Kristen.
Hal yang patut digarisbawahi dari ayat ini adalah frasa "Dan Aku telah memberikan waktu kepadanya untuk bertobat". Ini menunjukkan belas kasihan dan kesabaran ilahi. Tuhan tidak segera menghukum, melainkan memberikan kesempatan. Kesempatan ini adalah undangan untuk mengakui kesalahan, meninggalkan jalan yang salah, dan kembali kepada kebenaran dan kesucian. Ini adalah bukti kasih karunia-Nya yang berlimpah, yang senantiasa menawarkan jalan keluar dari kegelapan.
Namun, ayat tersebut melanjutkan dengan ungkapan yang menyedihkan: "tetapi ia tidak mau bertobat dari percabulannya." Kata-kata ini menggambarkan penolakan yang disengaja terhadap kesempatan yang diberikan. Ada keras kepala dalam hati, ketidakpedulian terhadap peringatan ilahi, dan keengganan untuk melepaskan praktik-praktik yang merusak hubungan dengan Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Tuhan memberikan waktu, kehendak bebas manusia memiliki peran krusial. Jika manusia terus menerus menolak panggilan untuk bertobat, konsekuensinya akan tetap ada.
Pesan di balik Wahyu 2:21 ini sangat relevan bagi setiap individu dan komunitas iman. Ia mengingatkan kita bahwa Tuhan melihat segala sesuatu, termasuk kemunafikan dan kompromi dengan dunia. Ia memberikan kesempatan bagi kita untuk memperbaiki diri, namun pertobatan sejati adalah sebuah pilihan aktif. Kegagalan untuk bertobat bukan hanya berarti kehilangan berkat, tetapi juga menghadapi konsekuensi yang serius. Sebaliknya, bagi mereka yang mau mendengarkan dan bertindak sesuai firman-Nya, ada janji-janji berkat yang indah di bagian lain dari surat ini dan di seluruh Kitab Wahyu, yang menekankan kemenangan bagi mereka yang tetap setia hingga akhir.
Oleh karena itu, ayat ini menjadi panggilan untuk introspeksi diri. Apakah kita benar-benar hidup dalam kesucian dan kesetiaan kepada Kristus? Apakah kita peka terhadap teguran Roh Kudus? Kesempatan untuk bertobat adalah anugerah yang berharga, dan sebaiknya kita tidak menyia-nyiakannya. Marilah kita merespons kasih karunia Tuhan dengan hati yang mau diubahkan, meninggalkan segala sesuatu yang menjauhkan kita dari-Nya, dan berpegang teguh pada kebenaran-Nya.