"Tetapi ia memberontak terhadapnya, dengan mengirim utusan-utusannya ke Mesir, supaya kepadanya diberikan kuda-kuda dan banyak orang. Akankah ia berhasil? Akankah ia yang berbuat demikian berhasil? Akankah ia yang melanggar perjanjian itu lolos?"
Ayat Yehezkiel 17:15 merupakan sebuah teguran keras dan peringatan ilahi yang ditujukan kepada Zedekia, raja Yehuda. Dalam konteks sejarahnya, Zedekia telah menjadi raja boneka Babel setelah ayahnya, Yoyakhin, dibuang. Meskipun diangkat oleh Babel, ia membuat perjanjian setia dengan mereka. Namun, Zedekia, dalam keputusasaannya untuk mencari kekuatan dan kemerdekaan, berpaling kepada Mesir. Keputusan ini bukan hanya pelanggaran perjanjian politik, tetapi juga pengkhianatan terhadap kedaulatan Allah yang telah menetapkan Babel sebagai alat penghukuman bagi Yehuda.
Perikop ini menyoroti konsekuensi dari pilihan yang salah dan ketidaksetiaan. Allah, melalui nabi Yehezkiel, mengajukan pertanyaan retoris yang menusuk hati: "Akankah ia berhasil? Akankah ia yang berbuat demikian berhasil? Akankah ia yang melanggar perjanjian itu lolos?" Pertanyaan-pertanyaan ini tidak membutuhkan jawaban karena jawabannya sudah jelas: tidak. Pemberontakan terhadap otoritas yang ditetapkan oleh Allah, bahkan jika itu adalah otoritas yang tampak menindas, akan selalu membawa kehancuran.
Inti dari teguran ini terletak pada frasa kunci: "melanggar perjanjian itu." Perjanjian yang dimaksud adalah ikrar kesetiaan Zedekia kepada raja Babel. Dalam pandangan Allah, perjanjian bukanlah sekadar formalitas politik, melainkan ikatan moral yang mengikat. Melanggarnya berarti mengingkari janji dan merusak tatanan yang telah ditetapkan. Allah melihat ini sebagai tindakan pengkhianatan, bukan hanya terhadap raja Babel, tetapi juga terhadap tatanan ilahi yang Ia tegakkan.
Dengan mengirim utusan ke Mesir untuk mencari bantuan kuda dan pasukan, Zedekia menunjukkan ketidakpercayaan pada Allah dan lebih mengandalkan kekuatan duniawi. Perbuatan ini mencerminkan ketidakdewasaan rohani dan kurangnya iman. Ia lupa bahwa kekuasaan sesungguhnya berasal dari Yang Mahatinggi, dan hanya kepada-Nya seharusnya ia bersandar. Mesir, yang seringkali digambarkan sebagai simbol kekuatan duniawi yang rapuh dan tidak dapat diandalkan, menjadi pilihan yang keliru.
Ayat ini menekankan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat lolos dari konsekuensi perbuatan melanggar perjanjian dan memberontak terhadap otoritas yang sah. Allah adalah hakim yang adil, dan ketidaksetiaan akan selalu dihukum. Bagi Zedekia dan Yehuda, konsekuensinya adalah kehancuran lebih lanjut, pembuangan yang lebih parah, dan penderitaan yang berkepanjangan. Ini adalah pengingat bahwa tindakan pemberontakan, betapapun menggiurkan imbalannya, pada akhirnya akan berujung pada kehancuran.
Yehezkiel 17:15 memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya integritas, kesetiaan, dan iman. Ia mengajarkan kita untuk menghormati perjanjian yang telah kita buat dan untuk bersandar pada hikmat ilahi dalam setiap keputusan, daripada mencari jalan pintas melalui kekuatan duniawi yang seringkali menyesatkan. Pemberontakan yang didasari oleh ketidakpercayaan dan keinginan untuk mengandalkan diri sendiri tidak akan pernah membawa keberhasilan sejati.