"Maka akan datang kamu, lalu berdiri di hadapan-Ku di rumah ini, yang Kusebut dengan nama-Ku, dan berkata: 'Kita selamat', padahal kamu terus melakukan segala perbuatan yang keji ini."
Nabi Yeremia, seorang sosok yang seringkali membawa pesan-pesan peringatan keras dari Tuhan kepada bangsa Israel. Salah satu pesan yang paling menusuk adalah yang tercatat dalam Yeremia 7:10. Ayat ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah jendela yang membuka pandangan kita pada kondisi rohani umat Tuhan pada masanya, dan relevansinya yang abadi bagi setiap generasi.
Pada masa Yeremia, Bait Suci di Yerusalem berdiri megah, menjadi pusat ibadah dan simbol kehadiran Allah. Bangsa Israel bangga akan Bait Suci ini, menganggapnya sebagai jaminan keselamatan yang takkan pernah goyah. Mereka datang berbondong-bondong ke Bait Suci, mempersembahkan korban, melakukan ritual, dan merasa bahwa kehadiran fisik di tempat kudus itu sudah cukup untuk menyenangkan Tuhan. Namun, di balik kemegahan ritual dan keyakinan akan keamanan ilahi tersebut, tersembunyi realitas yang mengerikan. Kehidupan sehari-hari mereka dipenuhi dengan ketidakadilan, penindasan terhadap kaum lemah, pemujaan berhala, dan segala bentuk kebejatan moral.
Yeremia 7:10 dengan gamblang menyoroti ironi yang menyakitkan ini. Bangsa Israel berkata, "Kita selamat," seolah-olah kehadiran mereka di Bait Suci adalah tiket otomatis menuju pembebasan dan perlindungan Tuhan, terlepas dari cara hidup mereka. Mereka mengira bahwa ritus keagamaan adalah segalanya, sementara hati mereka jauh dari Tuhan. Mereka menggunakan Rumah Tuhan sebagai "gua perampok" (Yeremia 7:11), tempat untuk menutupi dosa-dosa mereka dengan selubung kesalehan palsu. Ini adalah pengkhianatan tertinggi terhadap makna ibadah yang sesungguhnya, yaitu penyembahan yang lahir dari hati yang tulus dan diwujudkan dalam ketaatan.
Peringatan Yeremia ini memiliki gaung yang kuat hingga kini. Dalam kehidupan beragama modern, kita pun bisa tergoda untuk terjebak dalam jebakan yang sama. Kemudahan akses ke ibadah (baik fisik maupun virtual), pemahaman yang dangkal tentang keselamatan, atau sekadar ritual yang dilakukan tanpa perubahan hati, semuanya bisa mengarahkan kita pada kesimpulan yang salah. Kita mungkin merasa "selamat" hanya karena kita beribadah, berdoa, atau menyebut diri sebagai pengikut Kristus, namun lupa bahwa iman sejati selalu diikuti oleh buah perbuatan yang mencerminkan kasih dan keadilan Tuhan. Ketaatan, belas kasih, kejujuran, dan integritas dalam setiap aspek kehidupan adalah bukti otentik dari hubungan kita dengan Sang Pencipta. Yeremia 7:10 mengingatkan kita bahwa rumah Tuhan yang sesungguhnya bukanlah bangunan fisik semata, melainkan hati yang telah dibersihkan dan dikuduskan oleh hadirat-Nya, serta hidup yang taat pada firman-Nya.
Mengartikan Yeremia 7:10 berarti sebuah panggilan untuk introspeksi diri. Apakah ibadah kita hanya formalitas, ataukah itu mengubah cara kita hidup? Apakah kita benar-benar mencari hadirat Tuhan, atau hanya kenyamanan dari label "orang beriman"? Tuhan menginginkan hati yang hancur, bukan hanya ritus yang sempurna. Dia menginginkan ketaatan yang lahir dari kasih, bukan sekadar kewajiban. Mari kita renungkan pesan Yeremia ini, agar kita tidak menjadi seperti bangsa Israel yang tertipu oleh keselamatan semu, melainkan membangun hubungan yang tulus dengan Tuhan melalui iman yang hidup dan perbuatan yang benar.