"Mengapakah bangsa ini berkeras dalam kemurtadannya? Mereka terus berpegang pada tipu daya dan menolak untuk berbalik."
Ayat Yeremia 8:5 adalah sebuah seruan yang menusuk hati, sebuah pertanyaan retoris yang diucapkan oleh Nabi Yeremia di hadapan umat Tuhan yang terus-menerus menyimpang dari jalan kebenaran. Pertanyaan ini bukan sekadar ungkapan kekecewaan, melainkan cerminan dari kepedihan mendalam atas pilihan-pilihan yang diambil oleh bangsa Israel. Mereka, yang telah diberkati dengan perjanjian ilahi dan tuntunan Taurat, justru memilih untuk berpaling dari sumber kehidupan mereka.
"Mengapakah bangsa ini berkeras dalam kemurtadannya?" Pertanyaan ini menggugah kita untuk merenungkan akar dari kesesatan dan pengabaian terhadap Tuhan. Kemurtadan yang dimaksud bukanlah sekadar kesalahan sesekali, melainkan sebuah pola perilaku yang mengeras, sebuah keteguhan hati yang salah arah. Bangsa Israel, dalam narasi Alkitab, seringkali tergoda oleh praktik-praktik penyembahan berhala yang ditawarkan oleh bangsa-bangsa sekitarnya. Kenikmatan sesaat, kemudahan dalam mencari jawaban atas permasalahan hidup, dan ajakan untuk mengikuti arus budaya pagan, semuanya menjadi daya tarik yang kuat.
Frasa "mereka terus berpegang pada tipu daya" menyoroti sifat ilusi dari jalan yang mereka pilih. Jalan yang tampak menjanjikan kenyamanan dan keamanan ternyata adalah sebuah jebakan. Tipu daya ini dapat berupa janji-janji kemakmuran yang semu, kepercayaan pada kekuatan selain Tuhan, atau bahkan pembenaran diri atas tindakan-tindakan yang salah. Yeremia melihat bahwa umatnya terbuai oleh kebohongan, baik yang datang dari luar maupun dari hati mereka sendiri yang sudah terdistorsi.
Dan yang paling menyedihkan dari semua itu adalah penolakan untuk berbalik. "Menolak untuk berbalik" adalah inti dari masalah mereka. Ini bukan tentang ketidaktahuan, melainkan tentang kesengajaan untuk tidak mengakui kesalahan dan tidak mau kembali kepada Tuhan. Mereka telah membangun benteng keangkuhan dan ketidakpedulian, sehingga suara kenabian yang menyerukan pertobatan justru terdengar asing dan mengganggu.
Yeremia 8:5 bukan hanya catatan sejarah masa lalu, namun sebuah peringatan yang relevan bagi setiap generasi. Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan penuh godaan, kita pun berisiko jatuh pada jebakan serupa. Kemurtadan bisa berbentuk pengabaian terhadap nilai-nilai spiritual, penyerahan diri pada keserakahan, kesombongan pribadi, atau bahkan ketidakpedulian terhadap penderitaan sesama yang diajarkan oleh Tuhan. Kita mungkin tidak menyembah berhala secara fisik, namun seringkali hati kita terpikat oleh berhala-berhala lain: kekayaan, kekuasaan, popularitas, atau kenyamanan duniawi.
Penting bagi kita untuk bertanya pada diri sendiri, seperti Yeremia bertanya pada bangsanya: Mengapa kita seringkali enggan berbalik dari jalan yang salah? Apakah kita terlalu keras hati? Apakah kita terbuai oleh tipu daya dunia yang menawarkan kepuasan sementara? Mari kita renungkan ayat ini dan membiarkan pertanyaan Yeremia membimbing kita untuk memeriksa hati kita, agar kita tidak terus menerus berpegang pada kesesatan, melainkan memilih untuk berbalik kepada Tuhan yang penuh kasih dan setia.