Yesaya 38:12

"Saya telah diakhiri, seperti kemah gembala; bagaikan penenun, saya telah menyingkirkan hidup saya dari benang hidup; saya mengguntingnya pada hari itu juga."
Ilustrasi Sederhana Menunjukkan Perjalanan Hidup yang Berakhir Titik Akhir

Ayat dari Kitab Yesaya pasal 38, ayat 12, membawa kita pada renungan mendalam tentang kerapuhan kehidupan manusia. Dalam gambaran yang puitis dan kuat, Nabi Yesaya menggambarkan perasaannya saat menghadapi ancaman kematian. Ia membandingkan hidupnya dengan sebuah kemah gembala, sesuatu yang bersifat sementara, mudah didirikan, dan mudah pula dibongkar. Ini adalah metafora yang sangat menyentuh, mengingatkan kita bahwa kehidupan di dunia ini tidak permanen; ia adalah sebuah persinggahan, sebuah tempat yang kita tinggali untuk sementara waktu sebelum melanjutkan perjalanan yang lebih abadi.

Lebih jauh lagi, ia menggunakan perumpamaan seorang penenun yang menyingkirkan hidupnya dari benang. Proses menenun melibatkan pemilihan benang, merangkainya dengan cermat, dan pada akhirnya, memotongnya untuk menyelesaikan sebuah karya. Dalam konteks ini, benang-benang kehidupan dibayangkan sebagai helai-helai waktu dan pengalaman yang dijalani, dan ketika waktu itu tiba, 'benang' itu dipotong. Perasaan ketidakberdayaan dan kesadaran akan akhir yang dekat sangat terasa. Kata "mengguntingnya pada hari itu juga" menunjukkan betapa mendadaknya dan tak terhindarkannya akhir tersebut baginya saat itu.

Namun, ayat ini tidak hanya berbicara tentang kesedihan atau keputusasaan semata. Dalam konteks yang lebih luas dalam Kitab Yesaya, khususnya pasal 38 yang menceritakan tentang kesembuhan Raja Hizkia dari penyakit yang mengancam jiwanya, ayat ini menjadi sebuah pengakuan atas kuasa ilahi yang mampu membalikkan keadaan. Hizkia, yang telah merasakan kedekatan dengan akhir hidupnya, kemudian diberikan perpanjangan waktu. Ayat ini, meskipun menggambarkan rasa kehilangan dan akhir, juga menjadi fondasi untuk mensyukuri setiap momen yang diberikan.

Dalam kehidupan modern, kita mungkin tidak selalu menghadapi ancaman kematian yang begitu gamblang seperti yang dialami Hizkia. Namun, kesadaran akan kefanaan hidup ini tetap relevan. Kita semua, pada satu titik, akan menyelesaikan "tenunan" kehidupan kita di dunia ini. Ayat Yesaya 38:12 mengingatkan kita untuk tidak menyia-nyiakan waktu yang diberikan, untuk menjalani setiap hari dengan penuh makna, dan untuk menghargai setiap hubungan serta pengalaman yang membentuk "benang-benang" kehidupan kita.

Ketika kita merenungkan ayat ini, kita diajak untuk melihat kehidupan bukan hanya sebagai rentang waktu yang harus diisi, tetapi sebagai sebuah permata berharga yang patut disyukuri. Kesadaran akan akhir seharusnya tidak melahirkan ketakutan, melainkan motivasi untuk hidup lebih baik, lebih bijak, dan lebih penuh kasih. Ini adalah panggilan untuk menata kembali prioritas kita, untuk fokus pada hal-hal yang benar-benar penting, dan untuk percaya bahwa di balik setiap akhir, ada kemungkinan permulaan baru yang dijanjikan oleh Sang Pencipta.