"Janganlah kamu mendatangkan keberatan bagi orang Yahudi maupun bagi orang Yunani dan bagi jemaat Allah."
Ayat Alkitab 1 Korintus 10:32 adalah sebuah instruksi yang ringkas namun mendalam dari Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus. Di tengah keragaman budaya dan keyakinan di kota tersebut, Paulus memberikan panduan etis yang krusial: "Janganlah kamu mendatangkan keberatan bagi orang Yahudi maupun bagi orang Yunani dan bagi jemaat Allah." Ayat ini bukan sekadar larangan untuk berbuat salah, tetapi sebuah ajakan untuk hidup dengan penuh pertimbangan, empati, dan kesadaran akan dampak tindakan kita terhadap orang lain, baik yang seiman maupun yang belum.
Konsep "mendatangkan keberatan" atau "menyinggung" dalam konteks ini mencakup berbagai aspek. Bagi orang Yahudi, keberatan bisa muncul terkait dengan hukum Taurat, kebiasaan makan, atau praktik keagamaan lainnya. Sementara itu, bagi orang Yunani (gentiles), keberatan mungkin timbul dari kesalahpahaman terhadap ajaran Kristen, atau bahkan dari perilaku orang Kristen yang tidak sesuai dengan standar moral mereka yang sudah ada. Lebih luas lagi, Paulus juga menekankan agar tidak menyinggung "jemaat Allah" itu sendiri, yang berarti menjaga integritas dan kesaksian gereja di hadapan dunia.
Dalam dunia modern yang semakin terhubung, prinsip dalam 1 Korintus 10:32 menjadi semakin relevan. Kita hidup dalam masyarakat majemuk dengan beragam latar belakang budaya, agama, dan pandangan hidup. Bagaimana kita berkomunikasi, berperilaku, dan mengambil keputusan dapat memiliki dampak yang signifikan. Apakah tindakan kita justru menciptakan tembok pemisah dan ketidakpercayaan, atau justru membuka pintu untuk dialog dan pemahaman? Ayat ini mengingatkan kita untuk tidak bersikap egois atau hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, melainkan untuk memiliki perspektif yang lebih luas, yaitu bagaimana tindakan kita memengaruhi orang-orang di sekitar kita dan citra iman yang kita anut.
Penerapan ayat ini menuntut kita untuk memiliki kebijaksanaan dan kepekaan. Ini berarti kita perlu memahami konteks dan sensitivitas orang lain. Misalnya, dalam percakapan, kita perlu berhati-hati agar tidak menggunakan kata-kata yang bisa menyinggung keyakinan atau nilai-nilai orang lain. Dalam tindakan, kita perlu mempertimbangkan apakah kebebasan yang kita miliki justru bisa menjadi batu sandungan bagi orang lain yang imannya masih lemah atau yang memiliki pandangan berbeda. Paulus sendiri dalam surat-surat lainnya menekankan pentingnya mengendalikan kebebasan demi kasih (Roma 14; 1 Korintus 8). Kebijaksanaan bukan berarti menghilangkan prinsip, tetapi menerapkannya dengan cara yang membangun, bukan merusak.
Tujuan akhir dari hidup tanpa menyinggung siapapun, sebagaimana diajarkan oleh 1 Korintus 10:32, adalah untuk kemuliaan Allah dan untuk kesaksian yang efektif. Ketika kita mampu hidup berdampingan dengan penuh kasih dan hormat kepada semua orang, kita mencerminkan karakter Kristus. Orang lain akan melihat bahwa iman Kristen bukan tentang eksklusivitas yang dingin, melainkan tentang kasih yang universal dan kerelaan untuk beradaptasi demi kebaikan orang lain. Dengan demikian, kita tidak hanya menghindari konflik yang tidak perlu, tetapi juga membuka kesempatan untuk membagikan kabar baik keselamatan dengan cara yang lebih persuasif dan berdampak.